Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Maryam juga berjumpa dengan Jibril. Bahkan, bukan hanya mengisyaratkan kepadanya wahyu, tetapi meniupkan roh yang kemudian menjelma menjadi Nabi Isa, kemudian Nabi Isa menjadi kalimat Allah (al-Kalimah), sebagaimana dalam firman-Nya:
“(Ingatlah), ketika Malaikat berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)”. (QS Ali Imran [3]: 45).
Kata kalimah dalam ayat ini memiliki banyak sekali interpretasi para ulama dan teolog, sebagaimana yang pernah dibahas dalam artikel terdahulu, terutama dalam: “Apa Makna Ayat menurut Para Sufi”.
Dalam ayat lain lebih tegas lagi menyebut Maryam “ayat”: “Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)-nya roh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.” (QS al-Anbiya’ [21]:91).
“Dan telah Kami jadikan (Isa) putra Maryam beserta ibunya suatu bukti yang nyata bagi (kekuasaan Kami), dan Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir. (QS al-Mu’minun [23]: 50).
Setelah kita melihat berbagai keutamaan yang dimiliki Maryam, maka pertanyaan yang mengusik ialah mengapa Maryam tidak disebut nabiyyah menurut mayoritas ulama? Bukankah semua kriteria kenabian telah dimilikinya?
Pertanyaan yang sama juga muncul kepada sejumlah perempuan utama lainnya seperti Ummi Musa, yang secara eksplisit disebutkan ia menerima wahyu dari Allah (wa auhaina ila Ummi Musa, QS al-Qashash [28]:7).
Apakah memang perempuan tidak bisa menjadi nabiyyah? Siapa yang mencekal perempuan menjadi nabiyyah, apakah ada dalil tekstual atau logika, atau budaya misoginis yang sangat kental di dalam tradisi Semit?