REPUBLIKA.CO.ID, Zakat harta benda (mal), seperti dinukilkan dari “Ensiklopedi Islam”, adalah bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan kepada orang-orang tertentu setelah mencapai jumlah minimal tertentu dan setelah memiliki jangka waktu tertentu pula.
Berdasarkan pengertian ini, harta yang wajib dizakati harus telah dinyatakan memenuhi syarat. Syarat diwajibkannya zakat mal, antara lain, harta benda tersebut merupakan milik penuh dan tidak tersangkut hak orang lain di dalamnya.
Zakat itu juga harus berkembang atau mempunyai potensi produktif dan memberikan keuntungan. Selain itu pula, syarat wajib zakat mal ialah telah mencapai nisab, yaitu jumlah minimal wajib zakat.
Menurut Prof Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul “Al Mufashhal fi Ahkam Al-Mar’at”, kewajiban berzakat mal itu berlaku untuk semua kalangan. Tak terbatas pada kaum laki-laki saja. Zakat ini juga wajib ditunaikan oleh Muslimah yang telah memenuhi syarat.
Ketentuan ini sebagaimana disebutkan ayat, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” Akan tetapi, dalam praktiknya, timbul sejumlah persoalan.
Berbagai permasalahan itu mendorong kajian hukum di kalangan ulama. Salah satu problem zakat bagi perempuan ialah keberadaan utang. Apakah utang menghalangi seseorang Muslimah yang telah dinyatakan wajib zakat?
Para ulama berselisih pandang. Menurut pendapat yang kuat dari Mazhab Syafi’i, keberadaan utang tidak memengaruhi kewajiban menunaikan zakat mal Muslimah. Baik utang itu telah jatuh tempo saat itu juga, maupun ditunda di kemudian hari.
Menurut mazhab ini juga, status utang itu juga tak berdampak apa pun. Entah utang itu berasal dari pokok harta, atau dari sumber dana lainnya. Kepada siapa utang itu ditujukan tak dianggap sebagai penghalang berzakat. Sekalipun bentuk dari kafarat dan nazar.
Kelompok ini berargumentasi dengan perintah berzakat yang bersifat umum. Kewajiban zakat di sana, tidak dibatasi dengan ada atau tidaknya utang.