Zakat di Madinah
Belum diperintahkannya secara tegas untuk berzakat bagi kaum Muslim di Makkah karena mereka baru merupakan pribadi-pribadi yang dihalang-halangi dalam menjalankan agama.
Namun, kaum Muslim yang di Madinah merupakan jamaah yang memiliki daerah, eksistensi, dan pemerintahan sendiri.
“Karena itu, tanggung jawab mereka adalah mengambil bentuk baru sesuai dengan perkembangan hukum yang berlaku,” kata Qardhawi.
Selain itu, ayat-ayat yang turun di Madinah telah menegaskan bahwa zakat itu hukumnya wajib dan ada ketentuan besarannya serta sanksi bagi yang melanggarnya.
Perintah diwajibkannya zakat termaktub dalam Surah At-Taubah [9] ayat 103. “Ambillah sebagian harta mereka sebagai sedekah yang engkau pergunakan untuk membersihkan dan menyucikan mereka.”
“Pada harta kekayaan mereka melekat hak bagi fakir miskin yang sampai hati meminta dan yang tidak mau meminta.” (Adz-Dzariyat [51]: 19).
Sebagaimana diketahui, pada periode Madinah, ada satu kisah yang mesti dijadikan pelajaran oleh umat Islam, yakni kisah Tsa’labah. Dahulunya, Tsa’labah adalah seseorang yang sangat miskin, tetapi dia rajin beribadah. Ia memohon agar Allah memberikan rezeki kepadanya.
Atas ketabahan dan kesabarannya, Rasul SAW akhirnya bermohon kepada Allah agar memberikan rezeki kepada Tsa’labah. Maka, diberilah ia seekor kambing. Ia pun memelihara kambingnya dengan baik hingga akhirnya terus bertambah banyak. Akibatnya, ia semakin jauh untuk mengingat Allah.
Ia pun diperintahkan oleh Rasul SAW untuk mengeluarkan zakat atas hewan ternak yang digembalakannya, namun ia menolak. Ia digolongkan sebagai orang munafik, yakni bila diberi kekayaan, mereka lupa mengingat Allah. Lihatlah penjelasan Sayyid Quthb tentang hal ini dalam kitabnya “Tafsir Fi Zhilalil Quran”.