REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Prancis merupakan negara sekular yang memisahkan antara urusan negara dan agama.
Prinsip itu telah berlaku sejak UU 1905 disahkan. Kondisi itu jelas membuat negara tidak boleh mencampuri urusan keagamaan.
Merujuk pada aturan itu, pemerintah lokal memberikan lahan khusus dekat pusat kota untuk dibangun tempat ibadah dan terpadu, terutama di Kota Bussy-Saint-Georges (BSG). Di kota ini, tiga agama besar hidup berdampingan dengan harmonis.
Semua pembangunan rumah ibadah ditanggung oleh komunitas agama masing-masing. Juli lalu, kuil Buddha dibangun. Desember mendatang, menyusul masjid. Tahun 2014, giliran Sinagog.
Pemimpin komunitas Muslim berharap ide ini akan mendorong kehidupan antarumat beragama lebih harmonis. "Saya kira ini inisiatif luar biasa. Ini dapat memperkuat semangat hidup bersama dan memungkinkan tumbuhnya kehidupan harmonis," kata Abdalah Zekri, Presiden Dewan Muslim Prancis untuk masalah Islamophobia.
Sementara itu, Walikota Bussy, Hugues Rondeau, mengatakan populasi imigran Bussy menjadikannya laboratorium yang sempurna untuk mempromosikan hubungan antaragama.
Namun, ia mengakui masih ada masyarakat lokal yang menolak. "Tidak ada yang mudah, apalagi pandangan terhadap komunitas Muslim," kata dia.
Mehdi (23), mengatakan ketakutan terhadap Islam telah lama tumbuh di Bussy. Tentu, melalui proyek itu akan ada perubahan pandangan. Setidaknya, ada optimisme yang tumbuh, "Proyek ini tidak langsung mengubah begitu saja, tapi kita bisa berdoa untuk kondisi yang lebih baik," harapnya.