REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Sekretaris Jenderal PBB dan Presiden Mesir menyampaikan pidato yang menyengat dalam pertemuan tingkat tinggi Gerakan Non-Blok (GNB), kemarin di Teheran, Iran. Akibatnya, upaya tuan rumah untuk menoreh prestise internasional dan dukungan bagi program nuklirnya serta kebijakanya mengenai Suriah ternodai.
Para pejabat Iran terpaksa mendengarkan Ban Ki-moon mencela mereka, karena menyerukan penghancuran Israel dan menolak Holocaust. Demikian pula saat Muhammad Mursi, Presiden pertama Mesir yang berkunjung ke Iran sejak Revolusi Islam 1979, mendesak negara anggota GNB agar mendukung rakyat Suriah yang berusaha menggulingkan Presiden Bashar al-Assad, sekutu terdekat Teheran di dunia Arab. Pidato Mursi membuat delegasi Suriah meninggalkan ruang pertemuan.
Belakangan Menteri Luar Negeri Suriah Walid al-Mouallem mengatakan delegasinya meninggalkan ruangan sebagai penolakan atas hasutan di dalam pidato untuk melanjutkan pertumpahan darah di Suriah. Delegasi Suriah kembali ke ruang pertemuan setelah pidato Mursi berakhir, demikian laporan stasiun televisi Suriah.
Amerika Serikat dan Israel telah mengerutkan dahi atas keputusan Ban dan Mursi untuk menghadiri pertemuan tingkat tinggi negara berkembang tersebut. "Saya dengan tegas menolak ancaman oleh setiap negara anggota untuk menghancurkan negara lain atau upaya konyol negara lain yang menolak fakta sejarah seperti Holocaust," kata Ban di dalam pidatonya, tanpa menyebut nama Iran.
"Menyatakan bahwa Israel tak memiliki hak untuk ada atau menggambarkannya dengan cara rasis bukan hanya keliru tapi juga merusak prinsip utama yang kita semua janjikan untuk ditegakkan," katanya, seperti dilansir Reuters.
Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad berulangkali menolak Holocaust dan pada Agustus menyebut Israel sebagai tumor kanker. Sementara itu Wakil Menteri Luar Negeri Israel, Danny Ayalon, mengatakan Ban mestinya menyampaikan pesan yang lebih kuat dengan memboikot pertemuan puncak GNB tersebut.
Iran sebelumnya menggambarkan tindakannya menjadi tuan rumah pertemuan puncak GNB sebagai bukti bahwa upaya Barat untuk mengucilkan dan menghukumnya secara ekonomi karena program nuklirnya, telah gagal.