REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sejumlah tokoh di kelompok Taliban siap untuk melakukan perundingan damai. Meski begitu, harian Inggris, Guardian melaporkan, Senin (10/9), kelompok itu tetap tidak menerima pemerintahan Hamid Karzai.
Mengutip laporan yang dikeluarkan institusi pelayanan kerajaan tersebut, Taliban menetapkan untuk putus hubungan dengan Al Qaidah sebagai bagian dari ketetapannya itu dan membuka perundingan untuk memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak perempuan.
"Taliban membuka perundingan gencatan senjata sebagai bagian dari ketetapan umum dan juga sebagai penjembatan membangun kepercayaan dan inti persoalan distribusi kekuasaan politik di Afghanistan," kata laporan tersebut, seperti dilansir Reuters.
Dalam laporan berjudul "Taliban Perspectives on Reconciliation" itu, disebutkan bahwa ada empat tokoh Taliban yang diwawancarai. Dua orang di antaranya adalah pendiri Kelompok Taliban dan masih dekat dengan lingkaran dalam di pucuk kepemimpinan.
Salah seorang yang diwawancarai, yaitu seorang anggota pendiri Taliban, mengatakan bahwa kelompok itu bisa saja menerima keberadaan AS di sana untuk operasi pemberantasan teroris Al Qaidah. Hanya, kata dia, asalkan mereka tidak digunakan sebagai sasaran tembak atas negara lain atau untuk mengintervensi politik Afghanistan.
Dari sudut pandang Taliban, gencatan senjata membutuhkan pembenaran secara Islam yang kuat dan bukan sebagai isyarat bentuk penyerahan diri. Selama ini, Taliban menolak untuk berunding dengan pemerintahan Karzai dan tidak menyepakati konstitusi Afghan pada 2003.
Di pihak lain, para pejabat AS meragukan upaya perundingan itu. Terlebih lagi, melihat kekacauan di Afghanistan sudah termasuk di tingkat terparah sejak kekuatan Taliban tersingkir oleh AS pada 2001. Negara-negara Barat berupaya mengajak untuk negosiasi dan merancang untuk penarikan sekitar 100 ribu tentara NATO sampai akhir 2014.