REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi mengatakan di dalam demokrasi di negara yang majemuk seperti Indonesia, harus bisa dibedakan antara aspirasi dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang merusak persatuan.
"Penggiat demokrasi dan HAM harus secara jujur memilah antara pengertian SARA yang merusak persatuan dan aspirasi yang merupakan pilar yang sah di dalam demokrasi Indonesia," kata Hasyim di Jakarta, Senin (10/9).
Menurut Hasyim, banyak faktor yang mewarnai aspirasi, salah satunya adalah keyakinan. Demokrasi tidak bisa melarang aspirasi yang bersandar pada suatu keyakinan.
"Yang diatur negara adalah bagaimana ketika aspirasi-aspirasi itu masuk di ruang publik agar tidak menjadi benturan sosial," kata Hasyim.
Oleh karena itu, kata Hasyim, sebenarnya penggunaan teks agama tidak menjadi persoalan dalam demokrasi, sepanjang teks agama itu dipergunakan di dalam lingkungan pemeluk agama itu sendiri, yang artinya masih berada di wilayah aspirasi.
Dikatakannya, kaum Muslimin yang membaca teks kitab suci di lingkungan sendiri, di masjid, musholla, dan madrasah, tidak boleh disebut SARA karena negara tidak boleh mengintervensi agama sebagai ajaran.
Demikian juga dengan kaum yang lain, kata Hasyim. Kaum Kristen, misalnya, juga bebas sebebasnya bicara teks Injil di gereja-gereja tanpa boleh disebut SARA.
"Baru boleh dibilang SARA manakala bunyi teks itu dipaksakan untuk menciptakan konflik sosial," kata Hasyim yang juga Presiden World Conference of Religions for Peace (WCRP).
Oleh karena itu, kata Hasyim, kaum Muslimin tidak perlu ragu membawa aspirasi sesuai dengan keyakinan, serta mewaspadai gerakan yang memutar balik tatanan dengan bungkus melawan dominasi mayoritas tapi sesungguhnya membangun tirani minoritas.
"Kaum Muslimin berhak mengatakan inilah aspirasi kami, tanpa mengurangi hak agama atau komunitas lain dalam harmoni demokrasi," kata Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS) itu.