REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj berpendapat, kewajiban membayar pajak untuk sementara sebaiknya dihentikan (moratorium) sampai pemerintah bisa membuktikan tidak ada kebocoran dari sektor penerimaan pajak.
"Menurut saya pribadi, sebaiknya memang kewajiban rakyat membayar pajak dihentikan dulu, sampai bisa dibuktikan pajak dikelola dengan baik, amanah, dan digunakan kemaslahatan rakyat," katanya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (13/9).
Menurut dia, secara hukum agama, kewajiban membayar pajak berbeda dengan kewajiban membayar zakat. "Tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk membayar pajak, yang ada hanya membayar zakat," kata kiai bergelar doktor yang lulusan Universitas Ummul Qura, Mekkah, Arab Saudi tersebut.
Baginya, kewajiban membayar pajak bagi rakyat itu lebih terkait pada keharusan mematuhi seluruh aturan pemerintah, termasuk di dalamnya membayar pajak. "Di sini persoalannya. Kalau pajaknya dikorupsi, dan itu bukan rahasia lagi, apa kita masih wajib membayarnya?" katanya.
Dalam kondisi yang demikian, lanjut Said Aqil, kewajiban rakyat untuk membayar pajak bisa ditinjau ulang. Berbagai kasus korupsi yang terungkap di institusi perpajakan dan pengalaman masyarakat terhadap lembaga tersebut telah menyebabkannya menjadi institusi yang rawan korupsi.
"Uang rakyat yang dibayarkan kepada negara yang seharusnya digunakan kepentingan umum, tapi ternyata dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi oknum-oknum perpajakan," katanya.
Berpijak dari fakta itu, NU melalui forum Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar (Munas dan Konbes) yang akan berlangsung di Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, 15-17 September mendatang akan membahas apakah masyarakat masih wajib membayar pajak jika hasilnya dikorupsi.
"Karena itu, dimungkinkan terjadinya pembangkangan sosial sebagai protes masyarakat atas uang rakyat yang ternyata dikorupsi untuk kepentingan pribadi," katanya.