REPUBLIKA.CO.ID,Ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-67 tahun ini dibayangi krisis ekonomi yang melanda berbagai belahan dunia, khususnya Eropa dan Amerika Serikat. Krisis ini mulai terasa dampaknya di dalam negeri dengan menurunnya transaksi ekspor-impor yang turut berkontribusi dalam pendapatan negara.
Terkait hal ini, Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) KH Ali Mustafa Yaqub mengajak seluruh umat untuk mengisi kemerdekaan dengan terus mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Di antara beberapa caranya, adalah dengan berpartisipasi aktif dalam pembayaran pajak sebagai modal utama pembangunan. "Membayar pajak adalah kewajiban bagi seluruh warga negara," kata pakar ilmu hadits dan guru besar Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta ini.
Pada 2012 ini, pemerintah menargetkan pendapatan negara dari sektor pajak sebesar Rp 885 triliun. Pada semester pertama tahun ini, penerimaan pajak baru sekitar 45 persen dari target yakni sekitar Rp 387 triliun.
Pelambatan penerimaan pajak ini bisa jadi dikarenan faktor eksternal dampak krisis global maupun faktor internal akibat menurunnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak.
"Ada pertanyaan di sini mengapa kesadaran tersebut masih rendah. Tentu saja pemerintah dan masyarakat harus sama-sama saling berintrospeksi diri," imbuh imam besar Masjid Istiqlal Jakarta ini.
Untuk mengejar target penerimaan pajak, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak meluncurkan sejumlah kebijakan. Di antaranya adalah menggelar Sensus Pajak Nasional guna menjangkau wajib pajak baru dan verivikasi data bagi wajib pajak lama.
Selain itu, Ditjen Pajak juga memperbaiki sistem PPN. Tahapan awal perbaikan sistem PPN adalah dengan melaksanakan registrasi ulang pada Pengusaha Kena Pajak (PKP). Ditjen Pajak berencana akan mencabut sekitar 300 ribu PKP yang berpotensi menyelewengkan faktur pajak. "Jangan sampai ada kebocoran pajak oleh oknum-oknum di pemerintahan maupun dari oknum pengusaha," ungkap anggota komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menyarankan.
Selama ini status PKP rawan disalahgunakan oleh pengusaha dengan menerbitkan faktur pajak fiktif. Sejauh ini Ditjen Pajak telah mencabut sekitar 21 ribu perusahaan yang memiliki status PKP. Perusahaan-perusahaan tersebut dicabut status PKP-nya karena berstatus non-efektif dalam melaporkan pajaknya. Langkah ini diharapkan dapat mencegah kebocoran dalam penerimaan pajak PPN. (adv)