REPUBLIKA.CO.ID, Gagasan Sufi yang lain—menghasilkan sebuah problem yang banyak ditemukan tidak mungkin menggabungkan dalam pikiran-pikiran mereka—adalah penegasan Sufi bahwa Sufisme dapat dipikirkan dalam banyak penyamaran.
Kaum Sufi, dalam satu kata, secara singkat dilarang setia pada sesuatu adat kebiasaan. Beberapa sangat dengan senang menggunakan satu format religius, lainnya puisi romantis, beberapa berhubungan dengan kelakar (humor), dongeng dan legenda, namun lainnya memercayai bentuk-bentuk seni dan hasil-hasil dari para pengrajin.
Sekarang seorang Sufi dapat menceritakan dari pengalamannya, bahwa semua penyajian (presentasi) itu sah atau masuk akal.
Tetapi orang yang bukan anggota, para literalis, bagaimanapun setianya, dia mungkin akan sering diminta kesaksian untuk mengatakan apakah para Sufi ini (atau kelompok kaum Sufi ini atau itu) adalah ahli kimia, anggota serikat pekerja, orang yang tergila-gila terhadap hal-hal religius, para joker, ilmuwan—atau apa.
Problem ini, sementara hal itu mungkin khusus Sufisme, adalah sama sekali tidak baru. Kaum Sufi dibunuh secara hukum, diseret keluar dari rumah-rumah mereka atau disuruh membakar buku-buku mereka, karena melakukan rumusan-rumusan non-religius atau yang tidak diterima secara lokal.
Beberapa penulis Sufi klasik terbesar, dituduh melakukan bid'ah, kemurtadan, bahkan kejahatan politik. Bahkan (hari ini) mereka diserang dari semua jenis kalangan-kalangan yang setia, tidak hanya bersifat keagamaan.
Bahkan suatu pengamatan sepintas, yang dianggap asli mengenai Sufisme, menyatakan bahwa Sufisme merupakan suatu ajaran yang bersifat esoterik dalam Islam (yang karena itu dianggap sebagai kompatibel sepenuhnya), itu juga berada di belakang rumusan-rumusan yang banyak orang memerhatikan menjadi berbeda secara diam-diam dari satu orang ke orang lain.
Oleh karena itu, ketika "rentetan penyebaran" dari guru-guru yang ternama meluas, kembali kepada Nabi Muhammad SAW dalam garis keturunan ini atau itu dari pertalian yang digunakan oleh sebuah aliran atau guru, hal itu mungkin juga dihubungkan atau diangga—oleh penguasa (setempat) yang sama—sebagai garis keturunan dari seorang seperti Uwais Al-Qarni (wafat pada abad ketujuh) yang tidak pernah bertemu dengan Muhammad SAW di dalam hidupnya.