REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Narkotika Nasional (BNN) mempertanyakan putusan Peninjauan Kembali (PK) terpidana Henky Gunawan. Putusan tersebut berupa vonis kepada terpidana 15 tahun penjara. Padahal, pada tingkat kasasi, majelis Kasasi memvonis hukuman mati.
"Ini jelas dipertanyakan terkait dengan semangat pemberantasan narkoba," jelas Kepala Humas BNN, Komisaris Besar Sumirat Dwiyanto, kepada Republika, Rabu (3/10).
Jika memang dasar putusan itu adalah Hak Asasi Manusia (HAM), maka seharusnya dilihat juga hak asasi masyarakat yang lebih luas. Menurutnya, akan banyak korban dari perilaku Henky yang memproduksi narkoba dalam jumlah besar melalui pabrik ekstasinya.
Bayangkan saja, jelas dia, tidak kurang dari 15 ribu anak bangsa meninggal sia-sia karena narkoba. Korban diprediksinya akan semakin banyak lagi jika pengedar narkoba tidak dihukum mati.
Pihaknya menghormati putusan PK tersebut. Namun demikian, pihaknya meminta agar semangat pemberantasan narkoba dimaksimalkan sehingga tidak ada keringanan sedikitpun dalam proses hukum pengedar narkoba.
Mahkamah Agung (MA) menolak hukuman mati bagi terdakwa kasus narkotika Henky Gunawan. Dalam putusan Peninjauan Kembali (PK), MA mengabulkan PK yang dimohonkan Henky.
Hengky ditangkap pada 23 Mei 2006 pukul 17.00 WIB di Yani Golf Jalan Gunung Sari Surabaya. Ia dibekuk polisi karena terlibat memproduksi dan mengedarkan ekstasi dalam jumlah besar. Polisi menemukan bahan baku ekstasi di perumahan Graha Famili Barat III.
PN Surabaya menjatuhkan hukuman selama 15 tahun penjara kepada Henky. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Surabaya memperberat hukuman menjadi selama 18 tahun penjara. Di tingkat kasasi hukuman dimaksimalkan menjadi hukuman mati. Hukuman mati dijatuhkan oleh
Iskandar Kamil, Prof Komariah Emong Sapardjaja dan Prof Dr Kaimuddin Salle. Tetapi hukuman mati ini dianulir MA sendiri dalam putusan PK tertanggal 16 Agustus 2011 lalu itu.