Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Salik, Syekh, dan Mursyid
Seorang salik pertama kali harus menemukan, memilih, dan menentukan siapa yang akan menjadi syekh atau mursyidnya.
Sang mursyid ini yang akan berperan dominan di dalam menempuh kehidupan sehari-harinya. Menemukan syekh atau mursyid juga tidak gampang. Karena boleh jadi, baik dan cocok bagi orang lain, tetapi kurang pas dengan diri kita.
Para salikin (bentuk jamak salik—Red) harus memastikan diri tidak salah memilih pembimbing spiritual, baik seorang syekh maupun asisten syekh (mursyid).
Kriteria seorang syekh, menurut Syihabuddin Abi Hafs Umar As-Suhrawardi, ialah tokoh sufistik yang dituakan karena berbagai keutamaannya.
Mungkin karena perintis sebuah tarekat atau pelopor ajaran tasawuf, syekh dianggap sebagai ahli waris spiritual Nabi. Ilmu dan makrifatnya sudah mumpuni sehingga dia disegani para penghuni bumi dan langit karena kedekatannya dengan Tuhannya.
Jika tidak menemukan syekh, akibat faktor kesulitan lantaran kelangkaannya, cukup dengan mursyid. Mursyid ialah asisten dari syekh. Analoginya seorang profesor di perguruan tinggi biasanya memiliki asisten profesor. Ia sewaktu-waktu diminta oleh syekh atau sudah dibaiat oleh syekhnya untuk mewakilinya dalam berbagai urusan, terutama yang berkaitan dengan urusan organisasi tarekat.
Syekh atau mursyid bertugas untuk membersihkan niat dan meluruskan tujuan hidup murid-muridnya yang akan menempuh jalan hidup suluk. Ia juga harus berusaha mengetahui kemampuan murid, mendidiknya secara telaten tanpa pamrih, dan terus dievaluasi sampai akhirnya bisa menjadi salik yang mandiri.
Syek atau mursyid dituntut untuk selalu menyesuaikan ucapan dan tindakan, mengamalkan apa yang dikatakan, dan mengajarkan apa yang diketahuinya dengan penuh keikhlasan kepada para murid nya.
Syekh dan mursyid juga harus menyayangi orang-orang lemah, baik lemah secara fisik, kecerdasan, maupun ekonomi. Tidak boleh membeda-bedakan murid berdasarkan hal-hal yang bersifat pemberian dari Allah SWT.