REPUBLIKA.CO.ID, MESUJI – Pemukiman warga di dua desa; Sidang Sidorahayu dan Sidang Iomukti, Kecamatan Rawajitu Utara, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung, terancam tenggelam alias tinggal nama. Selama 20-an tahun terakhir, sedikitnya sudah 50 rumah warga tenggelam akibat abrasi bantara sungai yang terus melebar.
Tak hanya menimpa rumah, abrasi kanal air saluran primer sungai juga menenggelamkan sawah warga. Ratusan warga yang kehilangan rumah dan sawah, saat ini terlantar. Kondisi terparah, saat musim penghujan, aliran air selalu menyelinap di sela-sela rumah warga dan juga merusak padi yang berada di lumbung-lumbung.
Dua kampung ini adalah kampung peninggalan transmigrasi lokal. Kampung Sidang Isomukti terbentuk pada 1987 dan penduduknya berasal dari Way Jepara, Lampung Timur dan Padang Cermin, eks Kabupaten Lampung Selatan. Penduduk kampung ini awalnya 500 kepala keluarga (KK), setelah berkembang jumlah penduduknya mencapai 830 KK.
Penduduk Kampung Sidang Sidorahayu, juga warga transmigrasi lokal dari Desa Wonosobo dan Desa Pringsewu, eks Kabupaten Lampung Selatan. Saat mendiami kampung ini, jumlah penduduk kampung itu hanya 358 KK, lalu berkembang pada 1990 menjadi 516 KK.
Suwarno, kepala Kampung Sidang Sidorahayu, Senin (8/1), mengatakan abrasi saluran primer sudah berlangsung sejak 20 tahun lalu. Setiap tahunnya, ungkap dia, banyak rumah yang tenggelam, dan warga tak bisa berbuat banyak karena tak ada bantuan dari pemerintah setempat. "Sudah 20 tahun lebih, 50 rumah warga hilang tenggelam abrasi," tutur Suwarno.
Ia menceritakan pada 1990 lebar saluran primer hanya 19 meter, dua tahun ke depan warga bergotong royong memasang kayu gelam di pinggiran kanal untuk mencegah abrasi meluas. Ternyata, pondasi kayu tak bertahan lama, sehingga tahun 1995 salura primer tersebut melebar menjadi 25 meter.
Menurut dia, sejak 1990 hingga tahun ini sudah melebar menjadi 70 meter, dan telah mengorbankan puluhan rumah yang berdiri di bantaran saluran primer tersebut tenggelam. Abrasi ini hanya menyisakan jalan kendaraan roda dua, yang sebelumnya bisa dilalui kendaraan roda empat.
Mengenai perhatian pemda setempat, ia menuturkan belum ada yang berani turun ke lapangan. Ia mengakui pada beberapa pilkada banyak calon yang mengusung kasus dua desa tenggelam ini, hanya untuk menaruh simpati warga. "Sekarang kami butuh pemerintah turun membantu masyarakat," tegasnya.
Jumiran, kepala Kampung Sidang Isomukti, mengatakan panjang kanal air saluran primer dari Kampung Sidang Sidorahayu hingga Kampung Sidang Isomukti mencapai delapan kilometer. Namun abrasi terparah terjadi di Kampung Sidang Isomukti. Lebar saluran primer kini telah mencapai 75 meter.
Sebanyak 63 rumah warga terpaksa dipindahkan dari pinggiran kanal air karena halamannya hilang karena abrasi. Setiap musim penghujan tiba, tanah di pinggiran saluran longsor dan membuat pendangkalan di saluran primer. "Abrasi terparah terjadi di kampung kami. Sekarang lebarnya sudah 80 meter," katanya.
Menurut dia, kondisi terparah saat musim hujan, banyak sekali tanah yang longsor masuk ke kanal dan membuat pendangkalan. Warga khawatir kampungnya lambat laun tenggelam dan tinggal nama saja.
Sehari-harinya, dua penduduk desa tersebut tersebut hanya mengandalkan lahan sawah padinya untuk melangsungkan kehidupannya. Air yang melimpah di hadapan mata warga, ternyata tak bisa dikonsumsi untuk minum dan mengairi sawah mereka, karena berasa asin dekat air laut. Warga hanya bisa menanam padi setau sekali.
Saat air kanal berasal dari air laut naik, warga meninggalkan sawah-sawah mereka dan beralih menjadi buruh perusahaan perkebunan sawit.