REPUBLIKA.CO.ID, PBB, NEW YORK -- Utusan PBB-Liga Arab untuk Suriah Lakhdar Brahimi, Rabu (17/10), kembali menyampaikan seruan Sekretaris Jenderal PBB bagi gencatan senjata, dengan mengatakan "semua negara yang menyediakan senjata kepada berbagai pihak di Suriah" perlu menghentikannya, kata Juru Bicara PBB Martin Nesirky di Markas PBB.
Brahimi, yang menggantikan Kofi Annan pada September untuk menjadi penengah di Suriah atas nama PBB dan Liga Arab, mengeluarkan pernyataan tersebut sewaktu ia bertemu dengan para pemimpin Lebanon di Beirut, Ibu Kota negeri itu, kata Nesirky dalam taklimat hari di Markas PBB, New York.
Pemerintah Suriah, Selasa (16/10), mengumumkan Damaskus tertarik untuk mewujudkan gencatan senjata bagi konflik 19 bulan sebagaimana diusulkan oleh Brahimi. Namun Suriah meminta komitmen dari pihak lain dalam konflik tersebut.
Pemimpin Dewan Nasional Suriah --yang beroposisi-- Abdul-Basset Seda, juga menyambut baik gencatan senjata itu. Meskipun ada kelonggaran nyata tersebut, misi Brahim tetap menghadapi penghalang serius akibat perbedaan pendapat para pelaku utama dalam krisis Suriah, demikian laporan Xinhua.
Brahimi, mantan menteri luar negeri Aljazair, sedang membahas usul gencatan dengan negara regional guna merancang rencana nyata sebelum berbicara dengan Suriah, sebab "negara di wilayah itu harus menyadari krisis ini tak bisa tetap berada di dalam perbatasan Suriah selamanya", kata Nesirky.
Ketika bertemu dengan Presiden Lebanon Michel Suleiman, Perdana Menteri Najib Miqati di Beirut, Rabu, Brahimi --yang melakukan perjalanan keduanya di Timur Tengah guna menengahi gencatan senjata dalam krisis Suriah-- memperingatkan kerusuhan di Suriah takkan terelakkan akan menyebar ke wilayah tersebut.
Nesirky mengatakan dalam pertemuan itu, "mereka telah membahas seruan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon bagi gencatan senjata yang akan digagas oleh pemerintah" dan "untuk itu oposisi akan menanggapi secara positif".
Brahimi telah mengusulkan gencatan senjata antara gerilyawan Suriah dan pasukan pemerintah selama Idul Adha, yang dimulai 26 Oktober dan berlangsung selama empat hari. Gencatan senjata itu diharapkan akan mengarah kepada proses politik di negara Timur Tengah tersebut --yang telah terjerumus ke dalam krisis politik sejak Maret 2011.