REPUBLIKA.CO.ID, Dalam Islam persoalan ini muncul pertama kali pada Perang Badar, yaitu pada 17 Ramadan 2 H.
Peperangan antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin Quraisy ini berakhir dengan kemenangan umat Islam. Karena kalah, kaum musyrikin meninggalkan harta yang banyak di medan perang.
Harta itu kemudian dikumpulkan dan diambil oleh umat Islam. Akan tetapi, segera setelah itu, umat Islam berbeda pendapat tentang cara pembagiannya.
Mereka kemudian bertanya kepada Rasulullah SAW untuk menyelesaikan perbedaan pendapat itulah turun ayat Alquran yang menjelaskan tata cara pembagian rampasan perang.
Dasar hukum ghanimah, nafal, salab, dan fai
Berkenaan dengan ghanimah atau nafal, Allah SWT berfirman, “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS.Al-Anfal: 41).
Kemudian, “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: ‘Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman’.” (QS. Al-Anfal: 1).
Adapun landasan yang terdapat di dalam hadis di antaranya adalah hadis Nabi SAW, “Aku diberikan lima hal yang tidak pernah diberikan kepada nabi mana pun sebelumku. Aku ditolong di saat menghadapi kegoncangan sepanjang perjalanan sebulan, dijadikan bagiku tanah sebagai tempat bersujud serta bersuci, di mana pun umatku menemui waktu salat ia boleh shalat, dihalalkan untukku ganimah yang tidak dihalalkan kepada seorang nabi pun sebelumku, diberikan kepadaku syafaat, dan aku diutus untuk seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).