Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Menyeberangi Lautan Keilmuan
Dalam kitab-kitab tafsir otoritatif (mu’tabarah), seperti Tafsir at-Thabari, dije laskan bahwa majma’ al-bahrain (QS al-Kahfi [18]:60), sebagaimana diungkap di dalam artikel pekan lalu, ialah pertemuan antara laut Persia dan laut Romawi, yang menjadi pemisah secara geografis antara Timur dan Barat (Jilid VII h.271).
Demikian pula, dalam tafsir-tafsir Syiah, seperti Tafir al-Qummi (Jilid II h.36), Tafsir as-Shafi (Jilid III h. 248-249), dan Al-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an (Jilid VII h. 66), yang sering memopulerkan penafsiran eksoterik, juga menafsirkannya dengan laut Persia dan Roma.
Lain halnya dengan Fakhr ar- Razi dalam “Al-Tafsir al-Kabir”-nya mengemukakan pendapat lain yang bersifat metaforis.
Menurutnya, yang dimaksud majma’ al-bahrain ialah perjumpaan antara Musa dan Khidhir yang dilukiskan ilmunya masing-masing, seperti laut, luas dan dalam. (Jilid VII h. 479).
Gambaran dua laut ilmu pengetahuan berjumpa di tempat itu sekaligus mengukuhkan perlunya mengintegrasikan perspektif epistimologi keilmuan antara Nabi Musa dan Khidhir. Perspektif keilmuan Musa lebih banyak menggunakan metode hushuli, yaitu antara subjek ilmu dan objek ilmu terpisah atau berjarak.
Sedangkan, perspektif keilmuan Khidhir lebih banyak menggunakan metode hudhuri, yaitu antara subjek ilmu dan objek ilmu menyatu dan tidak berjarak.
Kesempurnaan ilmu pengetahuan, manakala sudah bersatu antara perspektif hushuli dan perspektif hudhuri (untuk mendalami kedua pespektif ini lihat kembali artikel “Antara Ilmu Hushuli dan Ilmu Hudhuri”).