REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberian grasi kepada terpidana mati kasus narkotika, Meirika Franola dinilai sudah tidak bisa dicabut.
Pengamat hukum tata negara, Jimly Assidiqie mengatakan, jika ingin aturan yang dibuat ditaati secara konsisten, maka grasi yang diberikan tidak bisa dicabut lagi.
"Karena, kalau dicabut, akan menjadi preseden buruk. Itu artinya, kita tidak yakin dalam membuat keputusan itu,” katanya saat ditemui di kompleks istana kepresidenan, Rabu (7/11).
Apalagi, saat memberikan grasi, Presiden pasti mendapatkan pertimbangan dari beberapa lembaga negara seperti Mahkamah Agung. Artinya, pemberian grasi merupakan agenda yang sangat penting dan tidak main-main.
"Kalau tahu-tahu dicabut lagi, akan menimbulkan ketidakpastian dan akan merusak keseluruhan sistem," katanya.
Meskipun, ia juga menegaskan tidak ada larangan dalam tatanan hukum formal untuk mencabut grasi yang telah diberikan. Tetapi, jika tindakan itu dilakukan, sama halnya dengan melanggar konvensi.
"Sedangkan konvensi itu sumber hukum," katanya.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disebut tengah menanti laporan lebih lanjut untuk mempertimbangkan mencabut grasi pengedar narkotika, Ola.
"Kalau benar seseorang yang diputuskan untuk menerima grasi dari presiden dalam perkembangannya ternyata melakukan hal yang tidak semestinya, tentu ada kemungkinan untuk dicabut. Sekarang Presiden sedang menunggu laporan lebih lanjut," kata Juru Bicara Presiden Julian A Pasha di Jakarta, Selasa (6/11) malam.