Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Selama menjalankan khalwat, para salikin betul-betul mengondisikan diri sebagai salik sejati.
Ia berusaha menjadi hamba yang berusaha menyucikan pikiran dan hatinya karena ia sadar hanya dengan demikian makrifat akan diraihnya.
Tanpa makrifat, tidak mungkin seseorang bisa mencapai puncak pencarian dan sekaligus puncak perjalanan spiritualnya. Jalan salik seperti ini sesuai dengan isyarat dalam Alquran:
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As- Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS al-Baqarah [2]:151).
Dalam ayat ini ditegaskan, sebelum memasuki wilayah pencarian (ta’lim), terlebih dahulu dilakukan penyucian diri (tazkirah). Seolah-olah tidak ada ta'lim tanpa tadzkirah.
Setelah menyucikan diri dengan cara, antara lain, mandi tobat, shalat sunah tobat, membaca sejumlah doa-doa awal sebagaimana disinggung dalam artikel terdahulu, barulah kita memasuki inti khalwat.
Menurut Suhrawardi dalam “Awarif al-ma'arif”, selama dalam menjalani khalwat, seorang salikin harus memenuhi tujuh ketentuan, yaitu: Pertama, selalu mempertahankan wudhu agar tidak batal.
Bagi para salikin, wudhu memegang peranan penting. Sungguhpun tidak batal secara fikih, tetapi jika ia menemui kesulitan untuk fokus karena terganggu oleh sejumlah makhluk atau urusan dunia, ia disarankan memperbarui wudhunya.
Secara neurologi juga dibuktikan oleh Prof.Baron Omar Rolf Ehrenfels, seorang neurolog mualaf yang meneliti tentang pengaruh air wudhu di dalam penciptaan stabilitas neurologi. Ia mengungkapkan, pusat kesadaran saraf manusia tersimpul pada tiga bagian anggota badan, yaitu daerah muka, tangan, dan kaki.
Jika orang akan menciptakan kesadaran dan pemusatan pikiran atau khusyuk, sebaiknya membasuh air segar ketiga pusat kesadaran tersebut.