REPUBLIKA.CO.ID,Bulan Ramadhan telah usai. Hari Raya Idul Adha pun telah berlalu. Tetapi, untuk keperluan jangka panjang, masih ada hal yang harus diselesaikan. Yakni, unifikasi kalender Islam yang bersifat Internasional untuk keperluan peribadatan umat Islam.
Dalam kehidupan sehari-hari umat Islam menggunakan Tarikh Masehi sebagai acuan untuk keperluan transaksi atau perjanjian. Selain menggunakan Tarikh Masehi umat Islam juga menggunakan Tarikh Hijriyah untuk penjadwalan waktu ibadah dan hari-hari besar Islam. Umat Islam perlu memahami konsekuensi hidup dalam dua tarikh ini, agar bisa memahami mengapa di satu negeri bisa berhari raya lebih dulu atau lebih lambat dari umat Islam di Indonesia. Untuk memahami konsekuensi hidup dalam dua tarikh itu perlu dipahami dulu konsekuensi masing-masing sistem penanggalan dalam kehidupan sehari-hari.
Tarikh Masehi mengacu pada siklus tropis matahari dan kesepakatan aturan sistem penanggalan Masehi yang dicanangkan Paus Gregorius XIII pada tahun 1582. Aturan dan mungkin perubahan aturan yang telah disepakati itu kelak bila ada juga perlu dipahami.
Pergantian Hari
Dalam hal pergantian tanggal Tarikh Masehi mengacu meridian standar suatu tempat dengan meridian Greenwich di Inggris sebagai meridian nol yang telah disepakati dengan bersusah payah pada bulan Oktober tahun 1884. Selain meridian standar itu juga dipergunakan konsep matahari rata-rata, sebuah matahari fiktif yang bergerak uniform sepanjang tahun. Bila matahari rata-rata berkulminasi bawah (jam 24:00) dari meridian standar maka terjadi pergantian tanggal. Tempat dengan meridian sama serempak berganti tanggal.
Sedang dalam Tarikh Hijriyah pergantian hari ditandai dengan terbenamnya matahari. Fenomena terbenamnya matahari tidak berlangsung bersamaan pada tempat dengan bujur yang sama. Tempat dengan lintang berbeda dan terletak dalam konsekuensinya bisa terjadi paa hari sama dalam tarikh masehi terdapat dua tanggal tarikh Hijriah yang berbeda. Waktu pergantian hari pada suatu tempat berubah dari waktu ke waktu sering dengan berubahnya waktu terbit dan waktu terbenam matahari.
Pergantian Bulan
Awal bulan dalam Tarikh Masehi ditetapkan dengan aturan jumlah hari dalam tiap bulan masehi. Jumlah bulan di tiap tempat di pelosok bumi sama. Awal bulan Islam yang ditetapkan dengan visibilitas hilal. Hilal lahir setelah konjungsi atau ijtimak. Waktu berlangsungnya ijtimak tidak bergantung pada tempat di muka bumi, tetapi visibilitas hilal merupakan fenomena lokal. Pada saat ijtimak kedudukan bulan dan matahari di langit berdekatan kurang dari 6 derajat. Oleh karena itu bulan dan matahari hampir terbenam bersamaan. Waktu ijtimak juga memberi andil dinamika lokal visibilitas hilal. Sebagai konsekuensinya awal bulan Islam juga fungsi dari tempat di muka bumi.
Pada tempat dengan meridian yang sama tapi lintang berbeda belum tentu mengamati fenomena visilitas hilal yang sama. Bisa saja terjadi bulan terbenam lebih dulu dari matahari sehingga hilal tidak mungkin diamati, atau bulan dan matahari bersama-sama terbenam sehingga hilal juga tidak visible atau matahari terbenam lebih dulu baru disusul bulan terbenam sehingga memungkinkan untuk bisa mengamati hilal.
Konsekuensi lainnya adalah kalender Islam mengandung aspek lokal. Bisa saja jumlah hari dalam bulan Islam pada tahun yang sama berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain walaupun sistem yang dipergunakan sama.
Semangat dalam mengamalkan ayat Quran dan Hadist yang bertautan dengan kalender Islam sesempurna mungkin dalam hal ini perlu mencapai kata sepakat. Kata sepakat untuk memilih sebuah sistem kalender itu diperlukan mengingat sangat banyak kreativitas yang bisa dilahirkannya sehingga terjadi keragaman sosok penanggalan Islam.
Dalam praktek sosok penanggalan yang aneka ragam itu akan membuat keadaan lebih kompleks dan menimbulkan kesan simpang siur dan membingungkan khalayak. Ketertiban dan kesemarakan umat beribadah memerlukan kepastian jadwal ibadah dan untuk mencapai itu perlu unifikasi kalender Islam di Indonesia maupun di dunia Internasional.