Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Kekuatan fisik dan sugesti air wudhu bisa menurunkan intensitas frekuensi gelombang otak dari beta ke alfa, bahkan teta.
Kekhusyukan itu terjadi di dalam suasana alfa ketika gelombang frekuensi otak menjadi lamban atau tenang.
Mungkin inilah sebabnya para mursyid selalu menyarankan para muridnya untuk selalu memelihara dan memperbarui wudhunya.
Kedua, selalu dalam keadaan berpuasa agar segenap waktunya di dalam menjalani riyadhah itu dipenuhi dengan berkah Tuhan. Puasa bagi para salikin bukan hanya mengosongkan perut dari makanan dan minuman serta tidak melakukan hubungan suami istri, melainkan mengosongkan pikiran dari kecenderungan nafsu biologis dan daya tarik duniawi lainnya.
Puasa seperti ini membuat tubuh, pikiran, dan perasaan menjadi ringan. Puasa menciptakan sistem cahaya dan pencerahan pikran dan kalbu yang sangat efektif. Puasa sering juga dimaknai mencontoh sifat Tuhan sebagaimana disebutkan dalam Alquran: Huwa yuth'im wala yuth'am (memberi makan, tetapi tidak makan) dan Walam takun lahu shahibah (dan tidak mempunyai pasangan).
Puasa mendidik jiwa dari mukhlis menjadi mukhlas, dari shabir ke mashabir, dan dari syukur menjadi syakur.
Selama menjalani khalwat, kita diminta membatasi makan dan disarankan tidak mengonsumsi sejumlah makanan dari yang bisa membahayakan tubuh, maksimum yang bisa kita makan ialah satu rithl, setara dengan 0,454 kg. Perut yang kekenyangan sulit mendapatkan rasa thuma'ninah (ketenangan).
Karena itu, mengontrol porsi dan tentunya juga kalori sangat penting, bukan hanya para salikin, melainkan kepada manusia secara umum. Rasulullah selalu mencontohkan ia makan pada saat lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.
Ternyata, energi dan kesadaran puncak bagi manusia ketika ia tidak dalam keadaan lapar atau kenyang. Kelaparan membuat badan menjadi lemah dan gemetar serta membuat badan lebih tambun, malas, dan mengantuk.