Rabu 21 Nov 2012 20:34 WIB

Pria tak Berotot Lebih Berisiko Mati Muda

Rep: Umi Lailatul/ Red: Karta Raharja Ucu
obesitas (ilustrasi)
obesitas (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM -- Usia memang salah satu rahasia Allah SWT yang tak bisa diduga. Tapi berdasarkan penelitian, pria yang tidak berotot lebih berisiko mati muda, ketimbang pria yang berotot.

Penelitian yang dilakukan di Swedia itu digelar untuk memprediksi umur seseorang dari kondisi ototnya. Peneliti melacak lebih dari satu juta pria remaja berusia 24 tahun.

Hasilnya menunjukkan para remaja yang tidak berotot, kaki lemah, dan pegangan tangan lemas, lebih berisiko mati muda dibandingkan remaja berotot. Peneliti meyakini kekuatan otot mencerminkan kondisi tubuh dan kebugaran secara umum.

Berdasarkan hasil penelitian, seseorang yang tidak memiliki massa otot dalam tubuhnya, akan memiliki risiko terkena penyakit seperti obesitas dan tekanan darah tinggi. Sementara pria kurus dan gemuk juga memiliki nasib yang sama buruknya dengan mereka yang berotot lemah.

Sementara pria berotot kekar berpeluang bertahan hidup lebih lama, meski mereka memiliki kelebihan berat badan. Berdasarkan penelitian, ada 26.145 (2,3 persen) responden laki-laki yang memiliki otot lemah meninggal lebih dahulu. Penyebab utama kematian mereka adalah luka karena kecelakaan, bunuh diri, kanker, penyakit jantung dan stroke.

Para remaja berotot pada awal penelitian memiliki risiko 20-35 persen lebih kecil mengalami kematian dini dari setiap penyakit, bahkan penyakit kardiovaskuler. Mereka juga memiliki risiko 20-30 persen lebih kecil mengalami kematian dini akibat bunuh diri, serta 65 persen lebih rendah terkena penyakit skizofrenia atau depresi.

Sedangkan lelaki berusia 16-19 tahun yang berotot lemah mempunyai risiko tertinggi meninggal sebelum memasuki usia pertengahan 50 tahun-an. Juru bicara British Heart Foundation mengatakan aktif secara fisik di usia berapa pun dapat mencegah anak-anak dari penyakit yang berkembang di kemudian hari. Selain itu, aktif secara fisik dapat meningkatkan konsentrasi di sekolah, kesehatan mental secara keseluruhan.

Tapi penelitian itu ditentang Stephen Evans, profesor pharmacoepidemiology dari London School of Hygiene and Tropical Medicine. Evans menilai penelitian tersebut masih memiliki sejumlah kelemahan.

Menurutnya hasil studi ini tidak menunjukkan aktif secara fisik atau olahraga akan memperpanjang hidup seseorang. ''Sayangnya intervensi untuk meningkatkan olahraga tertentu belum menunjukkan manfaat penting. Namun begitu, hasil ini tidak dapat mencegah orang-orang untuk tetap berolahraga, '' sebut Evans seperti dilansir dari BBC.

sumber : BBC
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement