REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO --- Presiden Mesir Muhammad Mursi kukuh mengambil alih kekuasaan peradilan untuk sementara. Ikhwanul Muslimin turun kejalan mendukung langkah darurat tersebut, melawan oposisi. Washington meminta presiden mengevaluasi ulang keputusan tersebut.
''Presiden tidak akan menarik keputusan tersebut (dekrit),'' Juru Bicara Kepresidenan Yasser Ali mengatakan demikian usai pertemuan lima jam dengan petinggi peradilan di Kairo, Senin (26/11), seperti dilansir BBC News.
Presiden mengumpulkan anggota Dewan Tertinggi Peradilan Mesir, menghendaki peradilan mendukung langkah tersebut. Yasser mengatakan anggota hakim senior mendukung langkah politik presiden kali ini. Namun dengan menambahkan hal tersebut hanya untuk mempertahankan kedaulatan negara, dan mempertahankan lembaga-lembaga peradilan.
Kompromi yang menghasilkan konsensus antara Lembaga Kepresidenan dan Peradilan tersebut mendesak para hakim dan kejaksaan menghentikan aksi unjuk rasa menuntut pencabutan dekrit tersebut. "Presiden menghormati independensi lembaga-lembaga peradilan,'' demikian menurut Yasser.
Mursi pada Kamis (22/11) mengeluarkan dekrit, berisikan pemecatan Jaksa Agung Abdel Maguid Mahmoud dan menggantikannya dengan Talaat Ibrahim. Mursi berencana untuk kembali menyeret para koruptor di era rezim Presiden Husni Mubarak ke meja peradilan. Dekrit juga berisikan keputusan presiden untuk memulihkan peran parlemen yang sempat dibubarkan oleh Dewan Tertinggi Militer (SCAF), melalui Mahkamah Konstitusi awal Juli lalu.
Selain itu peraturan darurat tersebut juga menyebutkan perpanjangan tugas Dewan Konstitusi dalam dua bulan ke depan untuk merampungkan konstitusi baru. Oposisi menolak keberlakuan dan menuduh dekrit tersebut adalah bagian dari kediktatoran presiden baru terhadap lembaga peradilan. Namun kelompok loyalis Ikhwanul Muslimin mendukung langkah presiden tersebut lantaran dianggap untuk menyelamatkan negara.
Keputusan tersebut memicu kerusuhan bagi ke dua pihak di Kota Damanhour di Delta Nil. Kerusuhan terbesar kedua pascarevolusi Mesir 2011 tersebut mengakibatkan seorang anggota Ikhwanul Muslimin, Fathy Masoud (15 tahun) tewas, dan 10 lainnya terluka.
Pemimpin oposisi dan beberapa tokoh perlawanan mengatakan dekrit tersebut adalah kesemena-menaan Mursi terhadap lembaga peradilan. Kelompok ini memaksa agar presiden mencabut keberlakuan dekrit tersebut. ''Kami menolak untuk berdialog (dengan presiden) sampai dekrit tersebut dibatlkan,'' kata tokoh oposisi Mohamed ElBaradei.
Oposisi mengancam akan melakukan aksi yang lebih besar pada Selasa (27/11) jika dekrit tersebut tetap terlaksana.Sedangkan pendukung presiden membatalkan aksi turun kejalan di hari yang sama untuk mengimbangi suara oposisi di jalanan. BBC News mengatakan Ikhwanul Muslimin diminta untuk tidak menimbulkan perlawanan dan ketegangan publik.