REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 27 praktik politik uang di Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkda) DKI Jakarta. Politik uang tersebut ditemukan mulai tanggal 24 Juni hingga 5 Juli 2012.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Abdullah Dahlan mencontohkan kasus pembagian uang oleh tim pemenangan Alex-Nono di Cikini, Jakarta Pusat. Pada tanggal 30 Juni 2012, di Posko Pemenangan Alex-Nono Cikini dilakukan kegiatan bagi-bagi uang sebesar Rp 250 ribu untuk setiap orang relawan.
Pembagian rutin ini dilakukan dengan syarat membawa identitas KTP dan pengisian formulir. ICW melampirkan bukti formulir dan fotocopy KTP atas nama Usup, warga Gang Mesjid III Dalam, RT 05/07, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Pria berusia 43 tahun ini menerima uang sebesar Rp 250 ribu, pada 30 Juni 2012, dari tim pemenangan Alex-Nono. Pada formulir tersebut terdapat kolom pilihan uang yang diberikan. Mulai dari Rp 150 ribu hingga Rp 400 ribu.
Praktik politik uang dengan modus pembagian paket umrah oleh tim pemenangan Foke-Nara juga ditemukan di Klender, Jakarta Timur. Pada 29 Juni 2012, sebanyak tujuh orang warga diberikan doorprize berupa paket umrah gratis.
Ella (55 tahun), warga RT 17 Muara Baru, Jakarta Utara, datang langsung ke LBH Jakarta melaporkan praktik politik uang yang dilakukan cagub. "Saya terima uang Rp50 ribu dari timses Alex-Nono tanggal 26 Juni. Di RT 17 juga semua warga tahu, ketua RW diberi hadiah mobil oleh Fauzi Bowo," ujarnya.
Selain modus pembagian uang secara langsung, ICW juga mencatat pelanggaran yang dilakukan cagub incumbent melalui politisasi birokrasi. Melalui penyalahgunaan fasilitas negara dan mendompleng iklan pemerintah daerah di baliho, televisi, dan videotron.
"Seperti yang dilakukan Fauzi Bowo pada 3 Juli lalu. Mengkonsolidasikan dan menggerakkan ribuan guru secara lisan untuk mencoblos nomor 1 pada Pilkada. Padahal di acara tersebut ia hadir sebagai gubernur, bukan dalam kegiatan kampanye," kata Apung Widadi, Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW.
Apung menilai maraknya politik uang yang terjadi selama masa kampanye Pilkada ini menunjukkan lemahnya pengawasan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) DKI Jakarta. Dikatakannya, hingga saat ini Panwaslu hanya mencatat satu jenis pelanggaran. "Itupun hanya pelanggaran karena pemasangan baliho. Panwaslu tidak mungkin belum mengetahui praktik money politic ini," ucap Apung.