REPUBLIKA.CO.ID, Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Salah satu sifat yang patut dipuji adalah dipuji tak besar kepala, dicela tak kecil hati. Juga tidak terlalu gembira terhadap apa yang didapat demikian pula sebaliknya, tidak terlalu bersedih terhadap kehilangan sesuatu.
Sehingga ia melahirkan banyak sekali sifat kebaikan. Hal-hal tersebut adalah buah dari sifat zuhud yang diajarkan oleh Allah dan RasulNya sebagai bekal dalam melakukan perjalanan di dunia ini.
Jika kita membahas makna Zuhud menurut makna bahasa berarti berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut dan karena (seseorang) tidak memerlukannya. Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan “syaiun zahidun” yang berarti “sesuatu yang rendah dan hina”.
Makna secara istilah: Ibnu Taimiyah mengatakan sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu Al Qayyim bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfa’at demi kehidupan akhirat. Al Hasan Al Bashri menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta. Seperti ada beberapa awam yang tidak paham makna zuhud kemudian mereka seakan-akan menyia-nyiakan nikmat dunia yang diberikan Allah SWT kepadanya.
Menurut Al Hasan Al Bashri makna zuhud di dunia adalah engkau lebih mempercayai apa yang ada di tangan Allah dari pada apa yang ada di tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu dalam kebenaran.
Di sini zuhud ditafsirkan dengan tiga perkara yang semuanya berkaitan dengan perbuatan hati:
1. Bagi seorang hamba yang zuhud, apa yang ada di sisi Allah lebih dia percayai dari pada apa yang ada di tangannya sendiri. Hal ini timbul dari keyakinannya yang kuat dan lurus terhadap kekuasaan Allah. Abu Hazimaz Zahid pernah ditanya, “Berupa apakah hartamu?” Beliau menjawab, “Dua macam. Aku tidak pernah takut miskin karena percaya kepada Allah, dan tidak pernah mengharapkan apa yang ada di tangan manusia.” Kemudian beliau ditanya lagi, “Engkau tidak takut miskin?” Beliau menjawab, “(Mengapa) aku harus takut miskin, sedangkan Rabb-ku adalah pemilik langit, bumi serta apa yang berada di antara keduanya.”
2. Apabila terkena musibah, baik itu kehilangan harta, kematian anak atau yang lainnya, dia lebih mengharapkan pahala karenanya dari pada mengharapkan kembalinya harta atau anaknya tersebut. Hal ini juga timbul karena keyakinannya yang sempurna kepada Allah.
3. Baginya orang yang memuji atau yang mencelanya ketika ia berada di atas kebenaran adalah sama saja. Karena kalau seseorang menganggap dunia itu besar, maka dia akan lebih memilih pujian dari pada celaan. Hal itu akan mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran karena khawatir dicela atau dijauhi (oleh manusia), atau bisa jadi dia melakukan kebatilan karena mengharapkan pujian.
Jadi, apabila seorang hamba telah menganggap sama kedudukan antara orang yang memuji atau yang mencelanya, berarti menunjukkan bahwa kedudukan makhluk di hatinya adalah rendah, dan hatinya dipenuhi dengan rasa cinta kepada kebenaran.
Hakekat zuhud itu berada di dalam hati, yaitu dengan keluarnya rasa cinta dan ketamakan terhadap dunia dari hati seorang hamba. Ia jadikan dunia (hanya) di tangannya, sementara hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah dan akhirat.
Dunia ibarat es yang semakin lama semakin mencair dan pada akhirnya akan hilang dan sirna. Sedangkan segala apa yang ada di sisi Allah adalah lebih kekal, dan akhirat itu lebih baik dan utama sebagaimana lebih indah dan kekalnya permata dibandingkan dengan es.
Dari Abu Hurairah ra.berkata: Rasulullah saw. bersabda; "Akan timbul di akhir zaman orang-orang yang mencari keuntungan dunia dengan menjual Din (agama). Mereka menunjukkan kepada orang lain pakaian yang dibuat dari kulit kambing (berpura-pura zuhud dari dunia) untuk mendapat simpati orang ramai, dan percakapan mereka lebih manis dari pada gula. Padahal hati mereka adalah hati serigala (mempunyai tujuan-tujuan yang jahat).
Allah SWT berfirman kepada mereka, "Apakah kamu tertipu dengan kelembutanKu?, ataukah kamu terlampau berani berbohong kepada Ku?. Demi kebesaranKu, Aku bersumpah akan menurunkan suatu fitnah yang akan terjadi di kalangan mereka sendiri, sehingga orang yang alim (cendikiawan) pun akan menjadi bingung (dengan sebab fitnah itu)". (HR. Tirmizi)
Sudahkah kita berzuhud, Insya Allah Mari!
Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Erick Yusuf: pemrakarsa Training iHAQi (Integrated Human Quotient)
@erickyusuf