REPUBLIKA.CO.ID, Sejak muda, ia dikenal cerdas, penyabar, dan pintar berceramah.
Para sahabat dan sejawat mengenal sosok ini sebagai pribadi yang tenang. Tak ada emosi yang meledak-ledak.
Buah pikirnya jernih dan bernas. Itulah yang membuat KH Achmad Shiddiq menjadi panutan bagi orang-orang di sekelilingnya.
Kiai Achmad, demikian ia biasa disapa, lahir di Jember pada 10 Rajab 1344 atau 24 Januari 1926. Ia lahir hanya selang sepekan sebelum organisasi massa (ormas) Islam terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU), mengikrarkan eksistensinya.
Pada kemudian hari, ormas inilah yang mengangkat pamor Kiai Achmad sebagai ulama, pendidik, sekaligus petinggi di negeri ini.
Nama besar Kiai Achmad tidak datang secara kebetulan. Merunut selintas ke belakang, Kiai Achmad diyakini memiliki titisan darah dari Joko Tingkir, pendiri kerajaan Islam di Kerajaan Pajang pada abad ke-16.
Ia merupakan generasi ke-15 dari Joko Tingkir. Garis itu ia peroleh dari ayahnya yang bernama KH Muhammad Shiddiq. Meski memiliki darah orang besar, tetapi proses pengkristalan bakat itu tidak lahir begitu saja. Kiai Achmad harus melewati beragam proses pematangan diri.
Proses itu diawali ketika usianya baru menginjak delapan tahun. Saat itu ayahnya tutup usia. Maka, pada usia tersebut Achmad kecil harus menyandang status sebagai yatim piatu. Sang ayah mengikuti jejak istrinya, Nyai H Zaqiah, yang telah wafat empat tahun sebelumnya dalam perjalanan pulang seusai menunaikan ibadah haji.
Meski kehilangan orang tua pada usia yang masih sangat muda, Achmad tak pernah merasa gundah. Ia juga tak pernah berkecil hati dalam menapaki setiap undakan dalam kehidupannya.
Selepas kepergian sang ayah, ia tinggal bersama kakak kandungnya, Kiai Mahfudz Shiddiq. Dari Mahfudz Shiddiq inilah, Achmad meneladani sifat tenang dan penyabar. Karakter itu semakin berbobot karena Achmad juga memiliki otak yang encer.
Kemampuannya dalam ilmu agama maupun pengetahuan umum cukup mumpuni. Proses pematangan kecerdasan itu semakin terasah ketika ia mondok di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Pesantren ini diasuh oleh KH Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri NU.