Selasa 15 Jan 2013 23:17 WIB

Inikah Pangkal tidak Tuntasnya Persoalan TKI?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permasalahan tenaga kerja Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan penyiapan dana perlindungan yang besar sementara kemauan politik pemerintah dan integritas pejabatnya masih lemah.

"Permasalahan TKI tidak sesederhana pada jumlah dana yang tersedia dan perbaikan sistem, tetapi secara mendasar ada pada political-will (kemauan politik) Pemerintah dan integritas para pejabatnya untuk tidak korup," kata Mantan Juru bicara Satgas Tenaga Kerja Indonesia (TKI), Humphrey Djemat, di Jakarta, Selasa (15/1).

Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia itu menambahkan jika kemauan politik sudah kuat dan pejabat tidak korup barulah sistem dan mekanisme perlindungan TKI bisa dilakukan dengan penuh komitmen dan konsisten serta bersikap tegas.

Artinya, menurut Humphrey, Pemerintah harus bersikap tegas memberikan sanksi terhadap perusahaan jasa TKI (PJTKI) yang selama ini banyak melakukan penyimpangan terutama dalam soal perekrutan dan pelatihan di BLK.

"Sudah menjadi rahasia umum PJTKI yang melanggar peraturan tidak mendapatkan sanksi bahkan 'dipelihara' oleh berbagai pihak di pemerintahan agar memberi upeti dan dampaknya pelanggaran semakin banyak karena tidak ada tindakan tegas dari Pemerintah," tutur Humphrey.

Oleh karena itu perlu tindakan tegas bagi PJTKI yang melanggar prosedur dan tidak profesional. Dia menambahkan 'political-will' pemerintah bisa diukur dari perbaikan atau revisi Undang-Undang No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri yang sampai saat ini belum juga terlaksana.

UU itu merupakan payung hukum bagi Perlindungan TKI. Dia juga menilai perlindungan akan sulit dilakukan jika negara tujuan penempatan tidak memiliki atau bahkan belum bersedia membuat peraturan hukum yang mengatur dan melindungi tenaga kerja informal.

Sebelumnya, Asosiasi Perusahaan Jasa TKI (Apjati) menyatakan akan menyiapkan 120 juta dolar AS atau setara dengan Rp1,140 triliun pertahun untuk perlindungan dan pelatihan TKI berkualitas untuk menyongsong dibukanya lagi penempatan ke sejumlah negara di timur tengah.

Ketum Apjati Ayub Basalamah di Jakarta, Minggu (13/1), mengatakan dana itu berasal dari recruting fee dari majikan yang akan mereka sepakati pada pertemuan multilateral asosiasi penempatan tenaga kerja di Jakarta, Maret depan.

"Pada pembicaraan dengan mitra Apjati di timur tengah sudah disepakati dana perlindungan dan pelatihan TKI tersebut dan bagaimana mekanisme penyiapan dananya," kata Ayub.

Disadarinya, masalah perlindungan TKI tidak hanya membutuhkan sistem tetapi juga pendanaan yang besar agar jika muncul permasalahan maka Apjati bisa bergerak cepat dengan akses dana yang fleksibel karena permasalahan TKI acap kali membutuhkan penyelesaian cepat dan informal.

Sementara Humphrey sebagai mantan juru bicara Satgas dalam laporan terakhir Satgas TKI kepada Presiden SBY telah merekomendasi untuk tidak mencabut moratorium terhadap beberapa negara termasuk ke Arab Saudi, selama belum ada jaminan kuat sejak perekrutan hingga kembali ke tanah air.

Menurut dia, sebaiknya pelaku penempatan berbenah diri agar bekerja secara prosedural dan profesional. Organisasi PJTKI seperti Apjati hendaknya meminta Kemenakertrans untuk tegas dan memberi sanksi keras pada PJTKI yang melanggar peraturan.

"Jangan sampai Apjati dinilai masyarakat berbicara muluk-muluk dan menjanjikan sesuatu yang sebenarnya hanya bertujuan agar moratorium penempatan ke Arab Saudi dicabut oleh pemerintah," kata Humphrey.

Sebaiknya Apjati memperlihatkan kinerjanya untuk memperbaiki sistem pelatihan dan perlindungan agar masyarakat menilainya bukan sekadar pemanis mulut.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement