REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Koalisi pemerintah Pakistan, Kamis (17/1) akhirnya setuju untuk berbicara dengan ulama sufi, Muhammad Tahirul Qadri, yang menuntut supaya pejabat pemerintah Pakistan mengundurkan diri. Kesepakatan itu terjadi setelah setelah negosiasi berjam-jam.
Ribuan pengunjuk rasa menari dan bersorak setelah Qadri mengumumkan bahwa dirinya dan pemerintah telah bersepakat (untuk berbicara). Kemudian Qadri meminta supaya para pengunjuk membubarkan diri.
’’Allah telah memberikan anda kemenangan, dan ini adalah hari kemenangan untuk Pakistan,’’ kata Qadri di depan pengunjuk rasa yang bersemangat mengibarkan bendera Pakistan.
Menurut salinan perjanjian, pemerintah Pakistan setuju untuk membubarkan Majelis Nasional sebelum masa jabatannya berakhir pada 16 Maret 2013. Ini memberikan waktu supaya politisi dapat mencalonkan diri dalam pemilihan menurut konstitusi Pakistan.
Pemerintah juga menyetujui bahwa pemerintahan sementara, yang biasanya terbentuk setelah pemilihan, akan terpilih setelah berkonsultasi dengan pihak Qadri. Namun tidak ada yang menyebutkan peran militer atau lembaga peradilan sebagaimana yang Qadri minta.
Qadri juga menuntut pembubaran badan yang mengawasi pemilu di Pakistan. Qadri mengeklaim (badan) itu bias, karena badan itu diangkat oleh para pemimpin politik. Pemerintah juga setuju untuk membahas komposisi komisi pemilu di Pakistan namun tidak menjanjikan untuk mengubah keanggotaannya.
Namun, para pendukung Qadri yang gembira Were Dengan perjanjian tersebut. ’’Saya senang bahwa tujuan kami dapat dicapai, dan Insya Allah, kita akan memiliki jiwa pimpinan yang jujur setelah pemilu berikutnya,’’ kata seorang pengunjuk rasa Ghazala Shaheen (22 tahun).
Resolusi ini terjadi pascakonflik yang terjadi antara pemerintah dengan Mahkamah Agung (MA) Pakistan. Sebelumnya, MA Pakistan, Selasa (15/1) memerintahkan polisi supaya menahan Perdana Menteri (PM) Pakistan, Raja Pervaiz Ashraf, karena kasus korupsi. Ashraf dituduh melakukan korupsi ketika dia menjabat sebagai menteri air dan listrik. Namun, Ashraf membantah tuduhan tersebut.