REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Komite Ekonomi Nasional (KEN) menunggu tindakan pemerintah terkait wacana pelarangan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada kendaraan pribadi.
"Sekarang ini tinggal (bagaimana) keberanian pemerintah," kata Sekretaris KEN Aviliani kepada Republika selepas menjadi pembicara dalam seminar sehari bertajuk "Kawasan Industri Sebagai Ketahanan Ekonomi Nasional" di Wisma Makara Universitas Indonesia, Depok, Rabu (23/1).
Menurut Aviliani, pelarangan konsumsi BBM bersubsidi pada kendaraan pribadi sebenarnya tidak sulit. PT Pertamina (Persero) sebagai operatur penyalur BBM tinggal menetapkan kendaraan mana yang berhak menggunakan BBM bersubsidi maupun yang tidak berhak.
"Tinggal diumumkan. Tidak perlu pakai IT maupun smartcard," ujar Aviliani.
Lebih lanjut, Komisaris Independen PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk ini menyebut ketetapan dari pemerintah tentu akan diikuti oleh pengelola stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Sebab selama ini, SPBU sulit menolak kendaraan pribadi yang sebenarnya tidak layak untuk menggunakan BBM bersubsidi.
Aviliani menilai kenyataan ini tak lepas dari pengendalian BBM bersubsidi oleh pemerintah yang hanya bersifat himbauan. Apakah usulan ini disebabkan oleh melonjaknya realisasi subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2012? Aviliani membantahnya.
"Kita sudah usul dari dulu," kata Aviliani. Terlebih, KEN memperkirakan 70 persen pengguna BBM bersubsidi merupakan masyarakat mampu.
Sebagai gambaran, realisasi subsidi BBM, LPG dan BBN pada APBN-P 2012 mencapai Rp 211,9 triliun. Angka itu melonjak 54,2 persen dari anggaran sebesar Rp 137,4 triliun. Dalam APBN 2013, anggaran subsidi BBM, LPG dan BBN mencapai Rp 193,8 triliun.