REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dwi Murdaningsih
Judul: 99 Cahaya di Langit Eropa
Jumlah halaman: 424
Harga: Rp 69.000
Penulis: Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Katagori: non-fiksi/novel Islami
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Pesona Eropa tak hanya menara Eiffel. Hanum Salsabiela Rais dan suaminya, Rangga Almahendra mencoba memberikan sisi lain kehidupan di benua biru tersebut. Melalui buku yang mereka tulis dari kisah perjalanan selama tiga tahun menimba ilmu di Eropa, pembaca akan diajak bertualang mengenai jejak Islam yang masih kental terasa.
Siapa tak mengenal bunga tulip. Pengetahuan umum memaksa kita mengakui bunga cantik itu sebagai ciri khas Belanda. Tapi, melalui buku ini pembaca diajak mundur pada ratusan tahun silam. Ada yang menarik dari asal usul si bunga ini.
Fatma, salah satu sahabat penulis yang menjadi tokoh dalam novel ini mengisahkan, tumbuh suburnya tulip di Belanda merupakan salah satu simbol kejayaan Islam di masa lalu. Dinasti Ottoman dari Turki membawa bunga asli Arastolis Turki dan sebagian Asia Tengah ini saat melakukan ekspansi Islam ke Eropa (halaman 351).
Bunga itu kian populer saat Ottoman melakukan 'penaklukan'. Termasuk saat kapal-kapalnya mendarat di Belanda. Tak ada yang tertarik mengembangkan bunga ini. Sampai akhirnya Belanda dengan teknologinya yang cukup canggih membuat bunga itu kini tampak lebih menarik dibandingkan kampung halamannya di Turki.
Lalu, siapa pula tak mengenal capucino. Kopi legendaris ini pun ternyata bukan berasal dari Italia. Melainkan juga merupakan salah satu bukti kejayaan Islam di Eropa. Minuman berkelas itu berasal dari biji kopi Turki yang tertinggal di medan perang Kahlenberg. Lagi-lagi saat Ottoman berusaha menaklukkan salah satu wilayah Eropa yaitu Austria.
Pasukan Turki yang sudah mengepung Wina, pusat kota Austria akhirnya dipukul mundur oleh gabungan Jerman dan Polandia di atas bukit Kahlenberg. Perang memang tak pernah menyisakan keuntungan. Pun disini, Fatma ingin 'membalas' penaklukkan kakek moyangnya dengan cara yang berbeda. Ia hanya ingin menjadi agen muslim yang baik. Di mana pun, termasuk di Eropa, saat muslim kini menjadi minoritas.
Novel ini mengambil empat lokasi utama. Yakni Wina-Austria, Paris-Prancis, Cordoba-Spanyol dan Istanbul-Turki. Empat lokasi itu mengisahkan jejak Islam yang berbeda. Di Cordoba terdapat Mezquita-masjid yang kini menjadi gereja. Di Istanbul penulis menceritakan tentang Hagia Sophia, gereja yang kini berubah menjadi masjid.
Menceritakan dengan gaya bertutur, penulis membawa pembaca menyusuri jejak Islam dengan cukup detail di masing-masing objek yang dikunjunginya. Mengambil referensi dari pemandu wisata dan sejarawan yang cukup objektif menjadi salah satu keunggulan novel ini. Meskipun Islam tergolong minoritas, pemandu wisata yang dikisahkan dalam buku ini mampu mendeskripsikan Islam apa adanya.
"Meskipun dia bukan muslim, aku rasa apa yang dia katakan tidak bermaksud hanya menyanangkan kami sebagai tamunya. Aku tahu dia akan berkata jujur karena itu memang faktanya," kata penulis saat menyusuri jejak Islam di Spanyol (halaman 274).
Buku ini sangat menarik dibaca, terutama bagi anda yang menyukai travelling yang tak hanya sekadar memotret keindahan. Namun juga ikut mengambil hikmah. Buku ini juga dilengkapi jejak kronologis Islam sejak abad ke-7 hingga 21 yang diceritakan secara runtut.
Bahkan, setelah membaca novel ini, mantan Presiden BJ Habibie menghimbau agar umat Islam tak lagi sibuk membicarakan keunggulan Islam di masa lampau. Tak melulu bicara bagaimana Islam dulu berjaya dan membuat peradaban yang begitu terang. Ia menghimbau agar umat Islam kembali unggul dan terdepan dalam menguasai teknologi.
Selamat membaca!