REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius mengatakan, tentara Perancis dapat mulai menarik pasukannya di Mali Maret mendatang.
Pernyataan tersebut diucapkan Fabius dalam wawancara di harian Metro, Prancis yang diterbitkan Selasa (5/2) malam. ‘’Saya berpikir bahwa mulai bulan Maret, jika semuanya berjalan seperti yang direncanakan, kita harus mengurangi jumlah pasukan,’’ ujar Fabius.
Fabius menekankan bahwa ancaman teroris masih ada dan pertarungan belum berakhir, tetapi pada akhirnya Afrika dan Mali sendiri perlu mengambil tanggung jawab atas keamanan di kawasan itu. Seorang pejabat militer Prancis mengatakan, sekira 4.000 tentara di Mali.
Juru bicara militer Mali di Timbuktu, Kapten Samba Coulibaly, mengatakan tidak ada alasan masyarakat untuk takut ditariknya tentara Prancis. ’’Dengan ukuran kekuatan kita miliki di sini sekarang, kita dapat menjaga keamanan di kota Timbuktu,’’ ujar Coulibaly.
Coulibaly menambahkan, ditariknya tentara Perancis tidak menakutkan untuk Mali, terutama karena angkatan udara Prancis masih akan ada, baik di Timbuktu dan Sevare. Mereka mengontrol seluruh zona ini (Mali) dan dapat campur tangan dalam hitungan menit untuk melaksanakan serangan udara yang diperlukan.
Seorang diplomat PBB yang enggan disebutkan namanya, Selasa (5/2) mengatakan bahwa Prancis terlibat aktif di Mali, dengan satu tujuan memukul mmundur gerilyawan.
Diplomat itu menuturkan, dewan Keamanan PBB kemungkinan akan menunggu sampai akhir Februari nanti, ketika aksi militer diharapkan telah berakhir, untuk mengadopsi sebuah resolusi baru yang mengizinkan pasukan penjaga perdamaian PBB untuk Mali. Mereka sudah diharapkan untuk mulai menyerahkan kendali Timbuktu kepada pasukan Afrika pekan ini.
Sebelumnya, sejak melakukan intervensi di Mali 11 Januari lalu, Pasukan Prancis yang telah menguasai Gao, Timbuktu, dan Kidal atau di wilayah utara Mali dari gerilyawan. Prancis meluncurkan operasi di Mali untuk mendorong kembali gerilyawan yang telah merebut bagian utara negara itu, memaksakan aturan yang keras pada penduduk, bahkan telah mulai bergerak ke arah ibukota Mali. Pemerintah Prancis khawatir wilayah tersebut bisa menjadi markas untuk teroris internasional.