REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mendata, sejak dihelat pemilukada langsung pada 2004, sedikitnya 93,85 kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi. Dari 886 pemilukada, hanya 6,15 persen kepala daerah dan wakilnya yang maju bersamaan untuk melanjutkan kemesraan masa pemerintahannya di periode kedua.
“Itulah alasan kami mengusulkan pemilihan tidak sistem paket, tapi hanya memilih kepala daerah,” kata Staf Ahli Mendagri, Reydonnyzar Moenek, Selasa (26/2).
Dalam UUD 1945, kata dia, hanya mengamanatkan pemilihan presiden berpasangan dengan wakil presiden. Adapun gubernur dan bupati/wali kota tidak ada kewajiban untuk dipilih berpasangan dengan wakilnya. Karena itu, ia berharap kalau dalam RUU Pilkada gagasan itu diterima DPR, lantaran sebagai solusi menekan fenomena pecah kongsi.
Kalau memang benar terjadi hanya pemilihan kepala daerah, sambungnya, maka setelah enam bulan terpilih, wakil kepala daerah baru dilantik. Kriteria wakil kepala daerah itu, menurut Reydonnyzar, adalah pegawai negeri sipil (PNS) berkompeten dan kredibel dalam menjalankan tugasnya.“Ini demi terciptanya efektivitas dan stabilitas penyelenggaraan pemerintah daerah,” jelasnya.
Meski begitu, dia menambahkan, wakil kepala daerah tidak bisa otomatis menggantikan kepala daerah seumpama di tengah jalan tersandung kasus korupsi atau tidak bisa melanjutkan masa kepemimpinan akibat faktor kesehatan. Itu lantaran wakil kepala daerah dulunya diangkat dari PNS oleh kepala daerah dan tidak mengikuti proses pemilihan langsung.