REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksanaan pemilukada sejak 2004 ternyata memiliki imbas dengan meningkatnya aparatur negara yang terjerat kasus hukum. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melansir 1.364 pegawai negeri sipil (PNS) bermasalah karena terkait tindak pidana hingga akhir 2012.
Dari data itu, kasus terbanyak terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan jumlah 189 PNS. Kalimantan Selatan menduduki urutan kedua dengan 133 kasus, Jawa Tengah sebanyak 101 kasus, Riau ada 96 kasus, dan di DKI Jakarta ada 33 PNS yang terjerat hukum, dengan rincian tujuh masih berstatus tersangka, 16 terdakwa, dan 10 orang terpidana.
Staf Ahli Mendagri Reydonnyzar Moenek mengatakan, hasil evaluasi dan analisis tersangkutnya PNS dalam kasus hukum salah satunya akibat mahalnya biaya pemilihan kepala daerah. Fenomena uang mahar, biaya kampanye, dan pembentukan tim sukses membuat PNS dilibatkan dalam permainan anggaran.
Dia mencontohkan, Pemilihan Gubernur Jawa Timur pada 2008 yang berlangsung tiga putaran menghabiskan hampir satu triliun rupiah. Munculnya bias dan distorsi dalam memahami dan memaknai demokrasi dan demokratisasi membuat banyak aparatur dipaksa kepala daerah untuk ikut mendukungnya dengan melanggar aturan.
"Pemilukada langsung yang harus diartikan efektif malah rawan terhadap konflik," kata Reydonnyzar, Rabu (27/2).
Disharmonisasi hubungan kepala daerah dan DPRD, utamanya dalam pembahasan APBD membuat PNS terjebak dalam arus konflik. Belum lagi politisasi birokrasi atau kooptasi oleh kekuatan parpol membuat PNS rawan tergelincir melakukan tindakan pidana.
Dia mencontohkan sebuah kasus, ada seorang kepala dinas yang dipaksa kepala daerah menyiapkan dana kampanye. Risiko kalau menolak, sambungnya, maka kepala daerah mengancam akan mencopot jabatannya. Sehingga dengan segala tekanan dan keterpaksaan, aparatur negara itu berani melanggar aturan.
"Politisasi birokrasi demi kepentingan calon ini akibat biaya politik mahal dan PNS yang kena dampaknya," ujarnya.