REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana pembubaran Detasemen Khusus (Densus) 88 masih jadi isu hangat di tengah pembicaraan masyarakat. Usulan pembubaran Densus 88 ini terkuak dari sejumlah organisasi kemasyarakatan.
Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsudin berujar, dengan polah Densus 88 yang dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam menghadapi teroris, dapat menciptakan stigmatisasi Islam. Ragam tanggapan pun bermunculan, sejumah pihak mendukung kuat usulan tersebut, tapi tak sedikit yang menolak.
Penolakan usulan ini juga disampaikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Lembaga ini justru menilai, adanya saran agar Densus 88 dibubarkan merupakan sebuah bentuk kekonyolan. BNPT menambahkan, kekonyolan itu semakin menjadi tatkala alasan penegakan HAM digunakan untuk menumbangkan Densus 88.
“Mungkin masyarakat belum pernah berhadapan langsung dengan teroris. Percayalah, mereka itu orang jahat sejahatnya orang, salah sedikit, masyarakat mati,” kata Kepala BNPT, Ansyaad Mbai ketika dihubungi, Jumat (8/3).
Ansyaad berujar, langkah pihak-pihak yang menginginkan korps ini bubar hanyalah upaya menjatuhkan kesuksesan yang sudah dicetak Densus 88. Bahkan dengan tegas dia merasa curiga bahwa permintaan bubarnya Densus 88 sengaja dihembuskan agar detasemen antiteror ini kehilangan fokus. “Saya yakin ini ada yang kompor-kompori,” ucapnya.
Dikatakannya, Densus 88 di lapangan harus berhadapan dengan teroris. Mati seolah sudah menjadi kontrak yang harus dijalani mereka dalam membasmi teroris di bumi Indonesia. Permintaan pembubaran Densus 88, kata dia, seakan membuang semua perjuangan korps tersebut. “Jadi teroris ini harus diapakan? Anda tau lah seperti apa beringasnya mereka. Kalau Densus 88 bubar, teroris bisa bangkit lagi,” kata dia.