Kamis 14 Mar 2013 12:49 WIB

(Tetap) Tertawa dan Terharu Bersama Sampek Engtay

Sejumlah pemain Teater Koma beraksi mementaskan lakon Sampek dan Engtay
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Sejumlah pemain Teater Koma beraksi mementaskan lakon Sampek dan Engtay "Bukan Cinta Biasa" di Gedung Kesenian Jakarta, Pasar Baru, Jakarta, Selasa (12/3). Pementasan produksi ke-127 Teater Koma ini mengangkat tentang kisah cinta sejati Sampek Dan Engtay d

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Tapi makhluk apa itu kejujuran, di mana batas jujur dan kebodohan atau ketika satu tujuan ditekuni yang lainnya jadi tak penting lagi?"

Kata-kata itu keluar dari mulut Engtay. Hal itu diutarakannya karena merasa heran dengan teman sekamarnya, Sampek, yang tak kunjung menyadari dirinya sesungguhnya wanita yang tengah menyamar menjadi pria.

Padahal setahun sudah mereka jadi teman sekamar dan menuntut ilmu bersama di satu sekolah. Rasa cinta pun mulai tumbuh di diri Engtay.

Mampukah Engtay menjaga gairah yang tengah menggelora di hatinya? Terlebih, keinginannya untuk menuntut ilmu telah mendobrak kekangan tradisi jamannya. Ia pun telah berjanji pada orang tuanya untuk tetap menjaga kesucian diri selama menuntut ilmu.

Itulah penggalan lakon "Sampek Engtay" yang kembali dimainkan kelompok Teater Koma, Rabu (13/3) malam di Gedung Kesenian Jakarta. Lakon tentang seorang perempuan yang mencoba menentang tradisi untuk maju. Lakon tentang emansipasi yang akhirnya harus kalah dengan tradisi.

Gelaran ini masih akan berlangsung hingga 23 Maret mendatang.

"Sampek Engtay" bukanlah skenario baru dalam pementasan Teater Koma. Naskah tersebut telah 85 kali dimainkan dalam kurun waktu 25 tahun terakhir.

"Terakhir dipentaskan itu tahun 2006, yang main (anggota Teater Koma) angkatan '94 sampai 2000," ujar Nano Riantiarno saat ditemui usai pementasan perdana, Rabu (13/3) malam di Gedung Kesenian Jakarta.

Meski sudah dipentaskan berulang kali, respon penonton terhadap pementasan "Sampek Engtay" tetap tinggi. Hal itu terbukti dengan telah habisnya tiket sejak seminggu yang lalu.

"Makanya saya juga heran, ini aneh. (Sampek Engtay) Saya pentaskan di mana saja selalu penuh. Yang kali ini juga, 10 hari pementasan plus dua hari tambahan dari seminggu kemarin sudah habis," ungkap Nano.

Perjalanan "Sampek Engtay" sendiri memiliki nilai historis yang tinggi bagi Nano dan Teater Koma. Karena di lakon inilah, tepatnya pada tahun 1988, Teater Koma mendapat cekal dari pemerintah karena berani menampilkan budaya Tionghoa yang kala itu dilarang.

Meski sudah berkali-kali dipentaskan, namun naskah yang disadur Nano Riantiarno dari 13 versi ini masih relate dengan situasi kekinian. Terlebih dengan celetukan-celetukan khas yang biasa keluar dari para mulut pelakon. Celetukan yang menggambarkan kondisi bangsa saat ini yang akan membuat kita tertawa pahit. 

Didukung dengan gerakan dan musik, Sampek Engtay masih tetap menghadirkan tawa serta haru dan masih bisa menjadi cermin bagi penontonnya.

Sampek Engtay masih menjadi sebuah gurauan pahit tentang sepasang kekasih yang bercinta. Suatu masalah yang masih dihadapi para orang tua kini.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement