REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persetujuan DPR RI menyoal pembangunan Gedung Mahkamah Agung (MA) dicurigai ada indikasi permainan. Anggota Komisi III DPR RI yang berlatar belakang pengacara disinyalir menjual pengaruh ke MA.
Menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar sinyalemen permainan itu terkait dengan latar belakang anggota Komisi III DPR RI yang kebanyakan pengacara atau yang memiliki kantor pengacara. Mereka banyak yang mengurus kasusnya sampai ke MA.
"Mereka menanamkan pengaruhnya di MA dengan memberikan kemudahan. Kemudian, melalukan hubungan personal dan ini menjadi modal," kata Abdul saat dihubungi Republika di Jakarta, Kamis (21/3).
Apalagi, lanjut Abdul, tidak ada jaminan bagi para pengacara yang menjadi anggota Komisi III itu bisa terpilih lagi pada pemilu tahun depan. Sehingga, jika memang mereka harus kembali ke dunia advokasi, mereka sudah memiliki modal dengan hubungan yang dibina dengan MA melalui persetujuan pembangunan gedung itu.
"Sinyalemen itu sangat mungkin," ujar Abdul.
Soal pembangunan gedung baru itu, Abdul mengatakan bahwa hal tersebut tak memiliki hubungan dengan kinerja hakim. Kalau di MA misalnya ada perkara yang menumpuk atau hakimnya terus bertambah, hal tersebut bukan karena ruang kerja atau bangunan yang sempit. Tetapi, lebih kepada kesigapan hakim-hakim yang bekerja.
Sebelumnya, MA membantah keras biaya pembangunan gedung baru MA mencapai triliunan rupiah. Biaya pembangunan gedung baru itu sebesar Rp 190,858 miliar.
"Total Rp 190 miliar. Tidak benar mencapa triliunan," kata Juru Bicara MA Ridwan Mansur melalui pesan singkatnya kepada Republika.