Rabu 27 Mar 2013 17:17 WIB

Tak Libatkan DPD, UU Cacat Hukum

Rep: Erik Punama Putra/ Red: Heri Ruslan
Anggota DPR dan DPD RI mengikuti Sidang Paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Foto: Antara/Yudhi Mahatma
Anggota DPR dan DPD RI mengikuti Sidang Paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan sebagian uji materiil (judicial review) UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), serta UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan.

Dengan putusan itu, MK memulihkan kewenangan DPD yang mulai sekarang bisa terlibat mengusulkan dan membahas RUU dari pemerintah dan DPR.

 

Kuasa hukum DPD Todung Mulya Lubis mengatakan, putusan MK merupakan hari bersejarah dalam susunan ketatanegaraan Indonesia. Menurut dia, MK telah mengubah sejarah karena meluruskan kembali Pasal 22D UUD 1945 tentang keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU tertentu bersama DPR dan Presiden.

“MK memberikan hak DPD ikut mengusulkan, dan merancang UU,” ujar Todung di gedung MK, Rabu (27/3).

 

Menurut dia, pembahasan RUU yang hanya melibatkan DPR dan pemerintah, namun mengesampingkan DPD jelas termasuk pelencengan hukum. Karena itu, UU yang dihasilkan DPR dan pemerintah sejak berlakunya UU MD3 hingga putusan MK termasuk tidak bisa dipertaggungjawabkan.

 “Cacat hukum kalau tidak melibatkan DPD,” katanya.

 

Todung mengatakan, MK memberikan hak kepada DPD, bersama DPR, dan Presiden ikut terlibat pembahasan prolegnas, meskipun DPD tidak ikut dalam persetujuan. Ditambah putusan MK yang disetujui sembilan hakim konstitusi maka menandakan kinerja MK layak mengawal konstitusi Republik Indonesia.

“Tidak ada dissenting opinion, respect kita kepada MK dalam mengawal konstitusi,” ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement