REPUBLIKA.CO.ID, YANGOON -- Pemerintah Myanmar menerapkan status darurat dan jam malam di beberapa kota tempat kerusuhan antaragama di negara tersebut. Keputusan itu menyusul melebarnya sentimen keagamaan di beberapa wilayah utara ibu kota.
Otoritas militer memberlakukan jam malam di tiga kota utama kerusuhan. Militer menutup akses ke wilayah Bago setelah aksi pembakaran terjadi di Gyobingauk, Senin (25/3). Militer mengumumkan jam malam, sejak Rabu (27/3) mulai pukul 18.00 sampai 06.00 waktu setempat.
Associated Press mengatakan, militer juga menutup akses masuk dan keluar Provinsi Bago. Langkah tersebut sebagai upaya kerusuhan agar tidak melebar ke ibu kota, Yangon. Wilayah Bago hanya berjarak 150 kilo meter dari pusat pemerintahan. Selain di Gyobingauk, jam malam juga diterapkan di Otepho. Ditempat ini menjadi arena pembakaran dan aksi sweeping warga muslim saat Ahad (24/3).
Massa yang dikatakan sebagai kelompok mayoritas membakar bangunan keagamaan kelompok muslim seperti masjid. Aksi pembakaran dan pelemparan toko-toko di Min Hla juga terjadi. Bangunan yang diidentifikasi milik kelompok muslim habis dihancurkan, dan dijarah. Kanal berita resmi milik pemerintah, The New Light of Myanmar mengatakan, rangkaian kebrutalan ini menewaskan 40 warga.
Pemerintah tidak merilis identitas korban yang tewas. Namun diyakini kelompok minoritas menjadi sasaran utama. Irrawaddy melansir, korban bertambah setelah adanya temuan delapan jenazah korban kerusuhan pada Selasa (26/3). Keadaan darurat melarang adanya segerombolan massa di jalanan. Militer juga melarang pertemuan-pertemuan publik, dan orasi-orasi politik di tiga kota-kota tersebut.