REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog Thamrin A. Tomagola mengatakan pengesahan bendera Aceh yang baru merupakan perwujudan karakter masyarakat Aceh sehingga tidak bisa disebut sebagai upaya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Mereka sebenarnya mau menegaskan identitas mereka saja. Masyarakat Aceh punya karakter seperti itu, (bendera) itu wujudnya," katanya usai hadir dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (27/3).
Namun, jika pemerintah pusat merasa dirugikan dengan pengesahan bendera berlambang bulan bintang dan logo burak singa tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat dan Gubernur Aceh bisa digugat. "Kalau kemudian pemerintah pusat merasa 'gentlement agreement'-nya dilanggar, gugat saja," katanya menambahkan.
Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan GAM disebutkan dalam salah satu poin kesepakatan bahwa Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne.
Sementara menurut Kementerian Dalam Negeri akan melakukan evaluasi terhadap pengesahan bendera Aceh yang baru. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Reydonnyzar Moenek mengatakan bahwa peraturan daerah (perda) atau Qanun tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
"Lambang daerah tidak diperbolehkan menyerupai atau menginspirasikan gerakan separatis," katanya, Rabu.
Evaluasi tersebut akan dilakukan oleh Kemendagri apabila salinan perda tersebut telah diterima Mendagri. Apabila klarifikasi dan evaluasi Kemendagri tidak dijalankan oleh DPR Aceh, residen berhak membatalkan perda atau qanun tersebut.
DPR Aceh telah mengesahkan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh pada 22 Maret. Pengesahan bendera berlambang bulan bintang dan logo burak singa, yang menjadi simbol kebanggaan GAM, telah menggantikan Pancacita, lambang Aceh yang merepresentasikan keadilan, kepahlawanan, kemakmuran, kerukunan dan kesejahteraan.