Sabtu 30 Mar 2013 03:31 WIB

Kajian NATO: Serangan Stuxnet ke Iran Ilegal

Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad saat melakukan kunjungan ke fasilitas pengayaan uranium di Natanz.
Foto: Kantor Kepresidenan Iran
Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad saat melakukan kunjungan ke fasilitas pengayaan uranium di Natanz.

REPUBLIKA.CO.ID, Meski Iran dan fasilitas nuklirnya menjadi musuh bersama Barat, masih ada penilaian yang mencoba objektif. Berdasar riset yang dilakukan pusat pertahanan NATO, serangan siber yang menyabotase program pengayaan uranium Iran adalah 'aksi penggunaan kekuatan ' dan bersifat ilegal.

"Aksi yang membunuh atau melukai orang atau menghancurkan atau merusak objek tidak bisa disangkal pasti menggunakan kekuatan dan cenderung melanggar hukum internasional."

Begitulah bunyi Tallinn Manual on the International Law Applicable to Cyber Warfare, sebuah kajian yang dihasilkan oleh grup independen terdiri dari para pakar hukum. Mereka melakukan penelitian berdasar permintaan Pusat Pertahanan Siber Kooperatif NATO di Estonia. Kajian tersebut diterbitkan pada minggu kedua Maret.

Aksi penggunaan kekuatan dilarang berdasar piagam PBB, kecuali bila dilakukan atas alasan pertahanan diri. Pernyataan tersebut ditegaskan oleh profesor bidang hukum internasional, Michael Schmitt dari U.S. Naval War College, di Rhode Island, sekaligus kepala penelitian, kepada Washington Times.

Seluruh pakar berjumlah 20 orang yang melakukan kajian, bulat menyatakan Stuxnet adalah aksi serangan dengan kekuatan, meski tak cukup jelas apakah sabotase siber terhadap program nuklir Iran termasuk dalam 'serangan bersenjata' bila didasarkan pada konstitusi.

Bila iya, maka serangan itu membuat Iran memiliki posisi sah untuk melakukan balasan sebagai bentuk pertahanan diri. Berdasar Konvensi Jenewa, setiap serangan bersenjata sebagai bentuk permusuhan internasional maka hukum perang berlaku di dalamnya.

Stuxnet diluncurkan pada 2009 dan 2010, kemungkinan juga pada 2008 dan menyasar pada pabrik pengayaan uranium di Natanz, Iran. Senjata siber yang dilaporkan didesain oleh Israel dan AS diluncurkan untuk memukul mundur kemampuan Iran dalam memproduksi senjata nuklir. Meski, sejauh ini AS menyangkal keterlibatan dalam serangan Stuxnet.

Menurut data spekulasi intelijen, bila tak segera dilumpuhkan, Iran bakal mampu menghasilkan senjata nuklir pada tahun 2010. Serangan lewat Stuxnet diyakini telah memundurkan program hingga tiga tahun ke belakang.

"Kami menulis ini sebagai bantuan penasihat hukum kepada pemerintah dan militer," ujar Schmitt. "Kami ingin menciptakan produk yang bisa berguna untuk negara dan membantu mereka memutuskan posisi mereka. Kami tidak membuat rekomendasi dan kami tidak memastikan tindakan terbaik, kami tidak masuk ke wilayah kebijakan," ujarnya.

Hanya saja, tak semua setuju dengan kesimpulan penelitian tadi.

Seorang periset dari Pusat Strategi dan Kajian Internasional (CSIS), James A. Lewis, menyatakan para periset tersebut melangkah terlalu jauh dan mereka tak memiliki banyak insiden yang membuktikan bahwa konflik siber bisa mengembangkan intepretasi hukum internasional seperti yang telah dijabarkan.

"Secara umum serangan siber tidak bisa menjadi aksi serangan kekuatan. Itulah mengapa Estonia tak menggunakan Pasal 5 pada 2007 lalu." ujarnya.

Pernyataan Lewis mengacu pada serangan DDoS terkordinasi yang melumpuhkan jaringan komputer bank-bank, lembaga negara, dan kantor media di Estonia. Negara itu menuding Rusia atau hacker yang bersimpati terhadap pemerintah beruang merah itu sebagai dalangnya.

Berdasar hukum NATO, Pasal 5 dalam pakta pertahanan tersebut mengharuskan negara anggota untuk membantu anggota lain bila mereka diserang.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement