REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia yang terdiri atas seratusan organisasi kemasyarakatan dengan tegas menolak Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas). Ada tujuh alasan pokok mereka menolak pembahasan RUU Ormas dilanjutkan.
Pertama, RUU Ormas tidak urgen. Melihat prosesnya, kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, RUU Ormas sarat dengan muatan politik. Sebab, ada indikasi akan dijadikan alat legitimasi politik pemerintah. Harusnya, pemerintah dan DPR RI fokus untuk menyelesaikan RUU yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat.
Kedua, RUU Ormas akan menjadi alat represif dan rezim otoriter. Sebab, RUU ini memberi otoritas yang sangat kuat pada pemerintah untuk membuka jalan bagi kembalinya rezim Orde Baru. Hal ini terlihat dari rumusan Pasal 62 RUU Ormas yang menyebut pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan sanksi dan membekukan Ormas tanpa proses peradilan.
Alasan ketiga adalah RUU Ormas antikemajemukan. Menurut Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia, ada tendensi kuat yang mengarah pada penyeragaman, tidak pro kemajemukan, dan berpotensi menimbulkan perpecahan di masyarakat. Ini terlihat dari rumusan Pasal 2 dan 3 tentang asas yang mengarah pada azas tunggal Pancasila.
Menurut Din, semua warga negara harus mendukung empat pilar berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Namun, yang lebih penting lagi bagi Indonesia saat ini adalah bagaimana empat pilar tersebut dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh pemerintah dan seluruh masyarakat.
Keempat, RUU Ormas inkonstitusional atau tidak sesuai dengan konstitusi negara ini. Din mengatakan, sangat jelas RUU ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28, memasung kebebasan berserikat. Alasan kelima, RUU Ormas sangat diskriminatif. Artinya, hanya menjadikan peran partai politik sebagai panglima. Pasal ini disebutkan dalam Pasal 7 atau 2 dan aturan administrasi lain yang menyulitkan ormas.
"RUU Ormas ini hanya diberlakukan bagi ormas yaang tidak berafiliasi dengan partai politik," kata Din dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (4/4).
Din menambahkan, ormas-ormas sayap partai politik sama sekali tidak diatur dalam RUU ormas. Hal ini justru dapat melemahkan eksistensi masyarakat sipil dan berpotensi menimbulkan oligarki politik kekuasaan oleh partai politik. Alasan keenam, RUU Ormas disharmoni. Sebab, banyak pasal dalam RUU ini berbenturan dengan UU yang sudah ada.
Alasan terakhir, RUU Ormas akan membubarkan ormas-ormas perkumpulan. Yaitu, pada Pasal 86 tentang ketentuan penutup. RUU Ormas akan mencabut keberadaan Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang perkumpulan-perkumpulan berbadan hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen). Artinya, ormas-ormas perkumpulan akan hilang status hukumnya.
"Ini sangat ahistoris, justru ormas yang punya andil dalam kemerdekaan," kata Din menegaskan.