REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat energi, Kurtubi, menilai kompensasi atas kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang rencananya diberikan Presiden SBY pada warga miskin, jangan berupa uang tunai. Ia bahkan menuding bila jalan itu dipilih, jelas ada unsur politis dalam keputusan tersebut.
"Kalau memang concern pada kemiskinan, jangan uang cash atau bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan pada masyarakat," tegasnya saat dihubungi, Senin (8/4). Tindakan itu, ujarnya, akan rentan disalahgunakan kepentingan politik kelompok.
Dikatakannya pula, jalan terbaik adalah dengan menyalurkan seluruh dana kompensasi ke pembangunan infrastruktur daerah tertinggal. Pemerintah bisa mendata wilayah miskin dengan menggunakan data dari Kementerian Pembangunan Darah Tertinggal.
"Dana bisa dimanfaatkan untuk membangun jalan, pedesaan, dan meningkatkan fasilitas pertanian," jelasnya. Menurutnya, terlalu sayang bila dana penghematan sebesar Rp 75 triliun, hilang ke sektor nonproduktif.
Pengamat UI ini juga meminta pemerintah segera memutuskan kenaikan BBM bersubsidi. Tindakan pemerintah yang cenderung menunda-nunda kebijakan bakal berdampak pada pemborosan anggaran. "Batasi BBM lewat IT atau plat hitam juga justru akan membuat masyarakat terkena kenaikan dua kali lipat," jelasnya. Pasalnya harga pertamax dua kali lipat dibanding BBM bersubsidi.