REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Penembakan dua orang warga di Palembang oleh anggota TNI AU, Rabu (24/) lalu, kembali menambah daftar panjang kekerasan aparat terhadap warga sipil. Kali ini, motif penembakan dilatarbelakangi persoalan perebutan lahan.
"Kasus seperti ini bukan yang pertama kali,” kata Koordinator Eksekutif Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar.
Menurut pengamatannya, konflik agraria semacam ini sudah berulang kali terjadi di Indonesia. Ada ratusan ribu hektare lahan yang menjadi sumber sengketa antara TNI dan warga.
Modusnya pun hampir selalu sama, yakni aparat turun langsung ke lokasi lahan yang disengketakan, kemudian disusul bentrokan dengan penduduk.
Haris menyatakan, TNI sebenarnya tidak mempunyai kewenangan dalam menangani masalah sengketa lahan.
Sementara di sisi lain, Badan Pertanahan Nasional (BPN) hanya bisa mengidentifikas persoalan, namun tidak mampu menyelesaikannya.
Ujung-ujungnya, prajurit akhirnya terjun sendiri ke lokasi untuk menyelesaikan dengan cara mereka.
Ia berpendapat, konflik agraria antara TNI dan warga sipil termasuk salah satu permasalahan kompleks yang sampai hari ini belum ditemukan solusinya. “Bahkan, Komnas HAM sekali pun tak bisa berbuat banyak ketika sengketa tersebut berujung pada penembakan warga,” imbuhnya.