REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Hanta Yudha menilai, mengakarnya politik dinasti di Indonesia sebagai sebuah cerminan terputusnya sistem kaderisasi yang dibangun parpol. Menurutnya, melihat calon yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petinggi parpol atau calon lainnya tidak boleh sepotong.
Memang, ujarnya, beberapa partai telah membangun kaderisasi yang berjenjang. Tetapi, cenderung terputus saat rekrutmen calon anggota legislatif. Munculnya calon yang sedarah menyalip calon lain yang sebenarnya sudah bekerja keras untuk partai. Karena memiliki keistimewaan silsilah keluarga, juga mereka memiliki kekuatan modal dan popularitas.
Tidak adanya regulasi dalam membatasi politik dinasti, lanjut Hanta, harus disiasati oleh calon pemilih. Melalui penelusuran rekam jejak calon-calon kerabat tersebut.
"Lihat kapan dia masuk partai, kalau dia masuk sudah lima tahun tidak bisa disebut kader instan," jelas peneliti dari lembaga survei Poll-Tracking itu dalam diskusi di kantor KPU, Jakarta, Rabu (1/5).
Namun, secara jangka panjang, efek negatif dari munculnya caleg instan dari kalangan kerabat partai itu bisa diantisipasi. Pertama, dengan sistem proporsional terbuka parpol harus mau terbuka kepada masyarakat. Mengurai calon-calon yang mereka usung dilengkapi dengan jejak rekamnya. Meski sulit, penyelenggara pemilu dan media bisa membantu mempublikasikannya. Agar calon pemilih mengetahui siapa yang pantas dipilih dan mana yang tidak laik.
Kedua, perlu digagas pembangunan demokratisasi dalam seleksi parpol. Kriteria perekrutan caleg harus jelas dan dibuat dengan standardisasi yang sama bagi semua peserta pemilu. Yang dituangkan dalam peraturan atau UU Pemilu. Dalam aturan tersebut, diurai bagaimana seleksi calon yang harus diikuti semua partai.
"Jika ada standarisasi yang diatur secara jelas dan bersifat konstitusional, persoalan-persoalan pencalegan termasuk politik dinasti bisa ditekan," kata Hanta.