REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Myanmar, Thein Sein, Sabtu (18/5) memulai kunjungan pertama ke Washington oleh seorang pemimpin negara itu hampir 50 tahun setelah Amerika Serikat melempar dukungannya di balik reformasinya.
Mantan jenderal, yang memprakarsai gelombang reformasi setelah menjabat pada 2011, terbang ke Washington dan akan mengadakan pertemuan-pertemuan pribadi pada akhir pekan sebelum pembicaraan di Gedung Putih pada Senin, kata orang yang terlibat dalam perjalanan tersebut.
Terakhir kali seorang pemimpin Myanmar, yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, mengunjungi Gedung Putih pada tahun 1966, pada saar negara sedang memasuki dekade pemerintahan militer yang terasing itu dari Amerika Serikat dan menajikan Cina sebagai mitra utama negara.
Presiden AS Barack Obama mengunjungi Myanmar pada November dan telah menghentikan sanksi yang paling utama terhadap negara itu dengan harapan menunjukkan manfaat bagi reformasi.
Thein Sein akan bertemu Senin dengan kalangan bisnis di Amerika Serikat, sekarang bebas untuk berinvestasi di Myanmar.
Kritik-kritik mengatakan Amerika Serikat berisiko kehabisan pengaruh dengan titik peringatan kekerasan anti-Muslim baru-baru ini, di mana pasukan keamanan dituduh gagal menghentikan - atau bahkan mendukung - serangan sektarian.
Menjelang keberangkatannya ke Amerika Serikat, Myanmar membebaskan 20 tahanan politik lainnya. Itu adalah pembebasan tahanan terbaru di bawah Thein Sein, yang juga telah meredakan sensor dan memungkinkan oposisi Aung San Suu Kyi - yang berada di bawah tahanan rumah pada sebagian besar dua dekade terakhirnya - untuk masuk parlemen.
Para aktivis menuduh gerakan Thein Sein untuk menyedot pemberitaan dan mengatakan bahwa sekitar 200 tahanan politik masih berada di penjara. Para pejabat AS berpendapat bahwa Thein Sein telah melakukan upaya yang tulus dan bahwa masalah seperti kekerasan baru-baru ini memiliki akar sebelum pemerintahannya.