REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Wakil Presiden (Wapres) AS Joe Biden mendesak pemerintah Turki untuk menghormati hak-hak lawan politiknya setelah tindakan keras terhadap para pengunjukrasa antipemerintah yang menimbulkan kekawatiran pada sekutu NATO tersebut.
Wakil Perdana Menteri (PM) Turki, Bulent Arinc, menyampaikan permintaan maaf kepada orang-orang yang terlibat dalam aksi pekan lalu saat sekelompok orang berunjukrasa menolak rencana pembangunan di lapangan Istanbul ditanggapi dengan tembakan gas air mata dan meriam air para petugas.
Unjuk rasa tersebut kemudian berubah menjadi sebuah aksi demonstrasi antipemerintah terbesar dan paling keras dalam beberapa tahun terakhir, kala rakyat mengeluhkan atas apa yang mereka sebut gaya otoriter PM Tayyip Erdogan dan mengacaukan jalanan di belasan kota.
Biden, berbicara di hadapan Dewan Amerika-Turki, mengatakan bahwa Turki berpeluang mewujudkan tujuan memasuki 10 besar ekonomi terbesar dunia pada 2023, namun bukan berarti mereka bisa menjauhkan diri dari demokrasi.
"Masa depan Turki hanya berada pada tangan rakyat Turki. Akan tetapi AS tidak bisa berpura-pura acuh tidak acuh dengan hasilnya," kata Biden.
Sejumlah negara dengan keterbukaan dalam urusan berserikat, sistem politik dan ekonomi, institusi demokrasi serta komitmen kuat terhadap prinsip HAM universal merupakan negara yang akan bertahan dan menjadi bagian kekuatan abad 21.
"Hari ini Turki memiliki kesempatan untuk mencontohkan bahwa tidak perlu memilih antara kemajuan ekonomi atau demokrasi, sistem yang memberi kekuatan pada pemenang pemilihan umum dan di waktu bersamaan melindungi mereka yang berada di kubu oposisi," ujar Biden.
Menteri Luar Negeri (Menlu) AS, John Kerry, yang pada Senin sempat menyampaikan kekhawatirannya terkait sejumlah laporan kekerasan berlebihan dari polisi, berbincang dengan Menlu Turki Ahmet Davutoglu dalam perjalanan menuju pertemuan Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS) di Guatemala, kata pejabat Kementerian Luar Negeri pada Selasa (4/6).
"Menlu Turki memberikan perspektif mereka terkait sejumlah unjukrasa di beberapa kota kepada Menlu AS. Menlu AS menyambut baik pembaharuan informasi dari mereka terkait upaya menenangkan situasi di sana," kata pejabat tersebut.
Sementara itu juru bicara Gedung Putih, Jay Carney, mengutip komentar Arinc. "Kami berharap ... pemerintah Turki dapat mengatasi ini sembari tetap menghargai kebebasan berbicara dan berkumpul yang menjadi dasar utama demokrasi. Dan kami menyambut baik pernyataan wakil PM yang meminta maaf atas kekerasan berlebih dan secara berkelanjutan menyerukan untuk penyelidikan peristiwa-peristiwa tersebut," kata Carney di hadapan wartawan.
Pernyataan Arinc memang bertolak belakang dengan apa yang diucapkan Erdogan, yang pada Senin mengatakan para demonstran "sebelas dua belas dengan teroris".