Senin 01 Jul 2013 13:16 WIB

Pemerintah dan DPR Masih Diskriminatif Soal Gula di Perbatasan

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Nidia Zuraya
Stok gula dalam gudang di Pabrik (ilustrasi)
Foto: usiness.financialpost.com
Stok gula dalam gudang di Pabrik (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) menilai pemerintah dan Dewan Pemerintah Rakyat (DPR) masih diskriminatif mengenai gula di perbatasan. Menurut Ketua Apegti Natsir Mansyur, kebijakan gula dari konsumsi Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indonesia masih diskriminatif terhadap masyarakat perbatasan.

Menurut Natsir, kondisi tersebut hingga saat ini masih terjadi disparitas harga yang tinggi antara gula impor dari Malaysia yaitu Rp 9.000 per kilogram (kg) dengan gula dari Pulau Jawa yang mencapai Rp 15 ribu per kg.  “Tentu rakyat perbatasan pilih harga gula murah. Masalahnya, jumlah yang ditentukannya terbatas sehingga memicu impor ilegal yang terjadi terus menerus,” katanya di Jakarta seperti keterangan tertulis yang diterima ROL, Senin (1/7).

Pihaknya meminta kepada aparat di perbatasan untuk melegalkan kebijakan impor gula dengan menggunakan pos lintas batas dan meminta kepada Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi selaku Ketua Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) agar membenahi masalah ini. Apegti menilai, kebijakan Menteri Perdagangan dengan memberikan impor gula mentah (raw sugar) sebanyak 240 ribu ton kepada tiga perusahaan gula yang berbasis tebu tidak tepat. “Kebijakannya spekulatif, tidak ekonomis, karena sampai saat ini gula yang diperuntukan untuk rakyat perbatasan tidak ada realisasinya,” ucapnya.

Padahal, rakyat perbatasan merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang juga memiliki hak untuk bisa menikmati gula murah, bukan diberikan gula mahal. Ini pun kalau ada gulanya dari Jawa yang harganya jauh lebih mahal. Tapi selama ini gula dari Jawa susah ditemui.

Pihaknya juga menyayangkan sikap aparat yang terlalu reaktif terhadap impor gula rakyat perbatasan yang menggunakan izin belanja dengan mengunakan perjanjian sosial ekonomi Malaysia Indonesia (Sosekmalindo).

“Padahal masalah penyeludupan dan kriminal sudah ada polisi yang bertugas mengurus masalah ini, kita juga menyayangkan Panja gula DPR RI tidak akomodatif terhadap rakyat perbatasan,” tuturnya.

Dia menghimbau kepada masyarakat perbatasan Kalimantan Barat agar gula konsumsi cukup dengan menggunakan izin perjanjian perdagangan lintas batas Indonesia dan Malaysia. Dimana setiap rakyat perbatasan dapat berbelanja kebutuhan pangan dari negara tetangga sebesar 600 ringgit Malaysia sesuai dengan perjanjian Sosekmalindo.

“Hanya dengan izin perdagangan lintas batas, masyarakat bisa mendapatkan gula dengan cara yang syah dan halal meski jumlahnya terbatas. Karena Kemendag tidak mampu mengadakan dan  mendustribusikan gula konsumsi kepada masyarakat perbatasan,” ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement