Ahad 14 Jul 2013 12:54 WIB

Dewan Minta PP 99/2012 Dicabut

Rep: Muhammad Akbar Wijaya/ Red: A.Syalaby Ichsan
Perbaikan Lapas Kelas I Tanjung Gusta, Medan, Sumatra Utara, oleh jajaran TNI dan aparat lapas.
Foto: Antara
Perbaikan Lapas Kelas I Tanjung Gusta, Medan, Sumatra Utara, oleh jajaran TNI dan aparat lapas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR mendesak Kementerian Hukum dan HAM segera mencabut Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 2012. Menurut sejumlah anggota Komisi III, beleid itu rawan disalahgunakan sekaligus biang keladi utama kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Jumat lalu.

"PP 99 tahun 2012 tak layak dipertahankan sebab sangat mudah disalahgunakan dan diperdagangkan," kata anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo kepada wartawan di Jakarta, Ahad (14/7).

Bambang menyatakan, terdapat sejumlah pasal dalam PP No. 99 tahun 2012 yang rawan digunakan. Pasal-pasal itu misalnya, Pasal 34 mengatur tata cara mendapatkan remisi, Pasal 36 tentang tata cara mendapatkan asimilasi, Pasal 39 tentang pencabutan asimilasi, hingga Pasal 43 tentang Pembebasan Bersyarat.

Semua pasal ini, kata Bambang, diberlakukan kepada terpidana kasus korupsi, narkoba, dan terorisme. "Sangat mudah disalahgunakan pihak-pihak yang berwenang melaksanakan PP ini, yakni oknum Kemenhumham," ujarnya.

Menurut Bambang, sudah bukan rahasia lagi bahwa remisi dalam praktiknya ibarat barang dagangan. Pemberian jumlah remisi ditentukan oleh berapa besar uang yang disetorkan para tahanan ke tahanan Kemenkumham.

Biasanya, jual beli remisi seperti ini dilakukan kepada para terpidana kasus korupsi dan pengedar narkoba. "Ekstrimnya, Anda mau dapat remisi? Berani bayar berapa?," kata Bambang.

Jual beli remisi sengaja ditujukan kepada terpidana korupsi dan pengedar narkoba karena dua pelaku kejahatan ini dianggap memiliki uang banyak. Bambang meyakinkan, dua pelaku kejahatan ini selalu berani mahal demi mendapatkan remisi.

"Mengapa? Karena diasumsikan bahwa para terpidana dua kasus ini masih kaya raya dengan pemilikan jumlah uang yang masih sangat besar," katanya.

Bambang mengingatkan kasus pemberian grasi untuk terpidana mati kasus narkoba, Meirika Franola alias Ola. Menurutnya, pemberian grasi untuk Ola sempat membuat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) waktu itu, Mahfud M.D menduga kuat jaringan mafia narkoba sudah berhasil menembus Istana Negara.

"Proses untuk mendapatkan grasi itu pasti cukup panjang. Berapa jumlah uang yg harus dikeluarkan rekan-rekan Ola agar rekomendasi grasi itu bisa sampai ke meja presiden?," kata politisi Golkar ini.

Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil mengatakan akumulasi kegelisahan dan kemarahan para napi di Lapas Tanjung Gusta, Medan karena  Kemenkumham mengeluarkan PP 99/2012.

Menurutnya,  gara-gara PP ini para napi yang mestinya sudah bebas terpaksa mesti tetap mendekam. "Orang kalau sudah marah tidak bisa kontrol," ujarnya.

Menurut Nasir semangat pemidanaan tidak boleh dimaksudkan untuk membuat seseorang menderita dan merasa direndahkan harkat martabat kemanusiaannya. "PP tersebut menurut saya telah melanggar hak asasi manusia," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement