REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Irwan Kelana dari Kairo, Mesir
Apa yang ada di benak kita manakala mendengar kata “Universitas Al-Azhar Kairo?” Itulah universitas Islam tertua di dunia. Dari sana telah lahir begitu banyak ulama dan ilmuwan Islam yang tersebar ke seantero dunia.
Universitas Al-Azhar membuka pintu bagi para mahasiswa Islam dari seluruh penjuru dunia. Kuliah di tempat tersebut gratis.
Bahkan bagi para penerima beasiswa Universitas Al-Azhar, mereka tidak hanya gratis kuliah, tapi juga mendapatkan sejumlah fasilitas lainnya.
Menurut Dubes RI di Mesir, Nurfaizi Suwandi, jumlah mahasiswa Indonesia di Mesir saat ini sekitar 2.800 orang. “Mereka terdiri dari pelajar, mahasiswa S1, S2, dan S3,” ujar Nurfaizi saat ditemui di Kantor KBRI Mesir, Cairo, Senin (8/7).
Sebagai perantau, tentu saja para mahasiswa itu tidak hanya mengalami suka, tapi juga duka. “Kami mengalami suka duka di negeri orang,” kata Agus Susanto, mahasiswa tahun ketiga Fakultas SyariahIislamiyah Universitas Al-Azhar asal Bengkulu, Selasa (9/7).
Ia menjelaskan, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Mesir terbagi menjadi dua. Pertama, yang sepenuhnya dibiayai oleh Al Azhar. Seleksi di Tanah Air, melalui Depag. Jumlahnya sekitar 50-100 orang per tahun.
Mereka tinggal di asrama Al Azhar Buuts, daerah Buuts, Cairo. Ke kampus, mereka naik bus atau trem sekitar lima menit, karen jaraknya relatif dekat.
Untuk para penerima beasiswa Al-Azhar tersebut, tempat (asrama) disiapkan, buku disubsidi, makan tiga kali sehari, plus uang saku. Mereka tinggal bersama mahasiswa dari berbagai negara.
“Tiket datang dan pulang terakhir (setelah lulus) ditanggung oleh Al-Azhar. Pokoknya semua diurus oleh Al-Azhar,” tutur Pengurus Harian Pusat Organisasi Pelajar Mahasiswa Indonesia di Mesir (PPMI) itu.
Kedua, mahasiswa yang datang ke Mesir menggunakan biaya sendiri. Tiket dan biaya hidup ditangggung sendiri. Al Azhar hanya membantu pembayaran biaya kuliah alias gratis. Tapi biasanya mulai tahun kedua mahasiswa sudah mulai mencari beasiswa. Rata-rata mulai dari 150 pound Egypt sampai 350 pound Egypt (Rp 225 ribu sampai sekitar Rp 500 ribu).
“Namun beasiswa ini masih jauh dari mencukupi, karena biaya hidup di Mesir makin tinggi dan makin langkanya para donatur yang menyediakan beasiswa. Dan para pemberi beasiswa belakangan ini lebih mengutamakan pribumi,” kata Agus yang juga wartawan tabloid Informatika, media komunitas Indonesia di Mesir yang langsung berada di bawah naungan ICMI Orsat Kairo.
Menurut Agus, sejak revolusi yang menumbangkan Presiden Husni Mubarak tahun 2011 lalu, biaya hidup di Mesir makin tinggi. Salah satu yang paling terasa adalah biaya makan dan tempat tinggal.
“Harga kebutuhan pokok makin mahal. Contohnya beras ukuran 25 kilogram. Tahun 2010 harganya hanya 60 pound Egypt (sekitar Rp 90 ribu). Namun tahun 2013 harganya melonjak jadi dua kali lipat, yakni 110-120 pound Egypt.
Yang juga sangat terasa adalah kenaikan biaya tempat tinggal. Tahun 2010, sewa rumah di daerah Hay Asyir (Distrik 10), Cairo, masih bisa 700 pound Egypt per bulan. Rumah tersebut bisa diisi 5-6 orang, sehingga tiap orang cukup membayar 120-140 pound Egypt.
“Namun sekarang harga sewa rumah di daerah Hay Asyir rata-rata di atas 1.000 pound Egypt, bahkan ada yang mencapai 1.300-1.500 pound Egypt per bulan,” tutur Agus yang juga Webmaster berbagai website mahasiswa Indonesia di Mesir dari Ikatan Keluarga pondok modern (IKPM) cabang Kairo.
Padahal, Hay Asyir termasuk daerah pinggiran Kairo. Dulu mahasiswa RI masih terpusat di daerah Husein (dekat dengan kampus), kemudian bergeser ke Rabiah Adawiyah (yang sejak akhir Juni sampai saat ini jadi tempat berkumpulnya para pendukung Mursi, presiden Mesir yang digulingkan oleh militer).
“Sejak lima tahun terakhir, daerah tempat tinggal mahasiswa Indonesia di Kairo bergeser ke daerah Hay Asyir hingga Tajamu,” kata Agus yang juga webmaster Kemass (Keluarga Masyarakat Sumatera Selatan).
Ia mengatakan, perjalanan dari rumah kos ke kampus memerlukan perjuangan tersendiri. Waktu tempuh dari Hay Asyir ke kampus di daerah Darosah Cairo sekitar 45-60 menit. Naik bus/trem macet, terkadang berdiri dan berdesak-desakan di bus. “Kapasitas 40 orang, penumpang bisa sampai 80 orang,” ungkapnya.
Kampus wanita lebih dekat, daerah Rab’ah. Sekitar 15-30 menit. “Waktu tempuh relatif lebih cepat,” ujarnya.
Hal lain yang juga menjadi kehati-kehatian tersendiri bagi mahasiswa Indonesia di Mesir adalah tindak kejahatan di Mesir semakin marak. Hal itu dikarenakan polisi semakin tidak bisa bertindak tegas, terutama setelah era revolusi 2011.
“Tindak kejahatan itu mulai dari perampokan, pencurian, penodongan dan sebagainya. Tidak hanya di jalanan, tapi juga melanda tempat tinggal mahasiswa,” kata Agus.
Hal senada diungkapkan Putri Rezeki Rahayu, mahasiswi asal Indramayu, Jawa Barat. “Tempat tinggal mahasiswa di Kairo makin jauh dan mahal,” ungkap mahasiswi tahun pertama Universitas Al-Azhar, Jurusan Ushuluddin itu, Selasa (9/7).
Biaya hidup tersebut terutama sangat terasa bagi mereka yang tidak mendapatkan beasiswa dari mana pun. Ia menjelaskan, biaya sewa rumah mengambil porsi yang makin besar. Misalnya sewa rumah 1.200 pound, dibagi enam orang berarti masing-masing 200 pound. Belum biaya makan dan transportasi.
“Rata-rata mahasiswa Indonesia di Mesir dapat kiriman dari keluarga Rp 1 juta (setara 700 pound Egypt),” tutur Putri.
Tantangan lainnya, kata Putri, sistem Al-Azhar yang masih manual juga membuat mahasiswa harus bekerja lebih keras untuk mengurus studinya dan harus lebih lama karena harus mengantre. Contohnya mengurus pengambilan Tasdiq (kartu induk bahwa yang bersangkutan terdapat sebagai mahasiswa Al-azhar).
Sistem ujian berupa essay dan soalnya terkadang sulit ditebak dan jawabannya betul-betul membutuhkan pemahaman yang benar. “Soalnya enggak banyak (misalnya 3-5 soal saja), tapi jawabannya panjang lebar. Kertas jawabannya sampai enam lembar kertas folio,” kata gadis manis yang aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan di Kairo itu.
Putri mengemukakan, hasil ujian terkadang tidak bisa diduga, walaupun sudah berusaha semaksimal mungkin. Ada orang yang dari sisi akademik prestasinya biasa-biasa saja, namun bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu (empat tahun). “Namun banyak mahasiswa yang harus menyelesaikan S1 nya lebih dari empat tahun, bahkan bisa 6-7 tahun,” paparnya.
Kuliah di Al-Azhar menggunakan sistem paket, bukan Sistem Kredit Semester (SKS). Kalau ada tiga mata kuliah yang tidak lulus dari sekitar 14-16 mata kuliah, maka harus mengulang untuk mata kuliah yang yang nilainya tertentu, misalnya 40 atau 50. “Standar nilai dari 0 sampai 100,” ujar Putri Rezeki Rahayu.
Ahmad Ridwan Hamdani, mahasiswa persiapan Universitas Al Azhar asal Semarang, Jawa Tengah mengakui, salah satu tantangan mahasiswa Indonesia di Mesir saat ini adalah sewa rumah sewa yang cenderung semakin mahal.
Karena biaya hidup yang makin tinggi, tidak heran banyak mahasiswa Al Azhar asal Indonesia yang bekerja sampingan, terutama bekerja di berbagai rumah makan Indonesia, Malaysia dan Thailand.
“Normalnya jam kerja adalah 11 jam, mulai dari jam 11 siang sampai 22. Sedangkan kokinya lebih lama lagi, karena harus persiapan dua jam sebelum buka,” tutur Dani yang mempunyai hobi fotografi.
Ia menjelaskna, gaji bekerja di restoran rata-rata 30-40 pound per hari untuk pegawai biasa (mengantar/delivery, membuat minuman, dan kasir). Sedangkan koki sekitar 80 pound per hari. “Pembayarannya ada yang per hari, per minggu atau per bulan,” ujarnya.
Tantangan lainnya, kata Dani, saat ini Mesir, khususnya Kairo, masih belum sepenuhnya aman. Baik ketika jalan sendiri maupun bersama teman. Penyebabnya, banyak baltoji (preman) atau haromi (copet atau pencuri).
“Banyak juga korban dari kalangan mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir). Bahkan sampai ada lelaki yang ditusuk, dan perempuan yang hampir diperkosa,” tutur Ahmad Ridwan Hamdani. (bersambung)