REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr HM Harry M Zein
Suatu ketika sebuah pesan singkat (SMS) masuk ke telepon selular saya dari seorang kawan yang juga pejabat di Pemerintahan Kota Tangerang. Isinya tidak terlalu panjang namun padat makna.
”Sudah 10 hari kita berpuasa, semoga kita dapat melalui hingga tibanya 1 Syawal sehingga jiwa kita menjadi suci seperti bayi yang baru dilahirkan.”
Sederhana tetapi dalam maknanya. Jika saja harapan itu mengacu salah satu hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, yang berbunyi, “Barang siapa menunaikan ibadah puasa Ramadhan dengan iman dan ihtisab, maka diampuni segala dosa yang telah lewat.”
Membaca hadis itu, terbesit dipikiran, sungguh dimanja orang yang berpuasa. Alangkah murah ampunan Allah SWT. Hanya sekadar menahan rasa lapar dan haus mulai matahari terbit hingga matahari terbenam selama bulan Ramadhan, seluruh dosa yang telah kita perbuat dihapuskan dan diputihkan kembali seperti bayi baru lahir. Namun apakah benar seperti itu? Jika benar, seperti apa puasa yang bisa membuat manusia yang telah berlumur dosa bisa kembali seperti bayi suci?
Tetapi mengutip beberapa literatur yang ditulis sejumlah cendekiawan Muslim, tumbuhnya pemahaman di atas itu lantaran Ramadhan hanya dipandang sekadar formalitas belum pada subtansial. Program televisi berbau Ramadhan, atau ‘gerakan’ mensucikan Ramadhan dengan dengan menggerebek warung makan yang masih beroperasi di siang hari, menghiasi hari-hari masyarakat.
Ramadhan juga hanya dipandang ‘waktu suci’. Waktu sifatnya tentatif dan sesaat. Ketika ‘waktu suci’ itu berlalu, maka prilaku buruk, seperti korupsi kembali dilakukan. Bahkan ada yang tidak menghormati ‘waktu suci’.
Secara sederhana pengertian puasa atau yang disebut shiyaam dan shaum dalam bahasa Arab, secara etimologi berarti al-imsak (menahan diri) dari sesuatu baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.
Karena itu, konsekuensi berpuasa adalah mengimplementasikan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh puasa itu sendiri, yakni kejujuran, pengendalian diri, dan kesediaan berbagi sesama, terutama kaum papa.
Surat al Baqarah ayat 183 menjelaskan energi positif yang diberikan Tuhan kepada orang-orang yang berpuasa bukan berupa pengharapan untuk pemutihan dosa dan sanksi-Nya di akhirat.
Tetapi adalah orang-orang (kaum) yang bisa menjaga moralitas dan akhlak dari perbuatan keji, termasuk korupsi, suap dan lainnya. Dalam ayat ini, pengertian orang bertaqwa tidak sekadar orang dan kaum yang menjalankan ibadah formal dan ritual saja (salat). Akan tetapi adalah orang dan kaum yang memiliki integritas tinggi terhadap amanah (jabatan) yang diberikan kepadanya.
Masdar F. Mas’udi, pada artikel “Korupsi dan Rapel Ampunan”, mengatakan orang yang mengaktualisasikan nilai kejujuran, pengendalian diri, dan kesediaan berbagi dengan kaum miskin di dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang hidupnya.
Jadi puasa (menahan lapar dan dahaga) seseorang secara tidak otomatis akan menjadi manusia suci. Karena pemahaman itu merupakan satu bentuk kesombongan belaka, yang justru semakin memperburuk hati dan perilaku yang bersangkutan. Alih-alih dengan puasa menjadi orang baik, malah sebaliknya.
Hadis Rasulullah yang diriwayatkan Imam Bukhari menyebutkan,“Tahukah kalian siapa si bangkrut sejati (al-muflis)?
Para sahabat menjawab,“Sibangkrut adalah orang yang tidak punya uang dan tidak punya harta.” Rasullah berkata, “Bukan itu. Si bangkrut sejati adalah orang yang datang di akhirat kelak dengan puasa pahala puasa, salat, haji, zakat, dan lain-lain. Tapi, dia gemar berbuat zalim terhadap orang lain, dengan mencaci, menyakiti, dan memakan atau mengorupsi harta mereka.”
Tafsir hadis itu adalah, segala pahala salat, puasa, haji, dan amal saleh lainya diambil untuk diberikan kepada korban kezaliman tadi. Jika masih kurang, dosa korban kezaliman dilimpahkan kepada orang tadi. Lalu dia pun di lempar ke neraka.
Hadis itu sangat jelas, puasa, salat, haji dan zakat tidak akan bermakna apa-apa jika tetap melakukan kezaliman kepada kaum miskin dan mengkorupsi hak serta dana untuk orang miskin.
Mari kita mengubah pandangan bahwa Indonesia bukan sebagai negara penuh korupsi. Bukan pula surga koruptor. Mungkin, itu bisa dijadikan gerakan nasional, dimulai dengan keteladanan pemimpin negeri hingga ke rakyat jelata.
Dampak puasa korupsi diharapkan bisa terlihat nyata setelah Ramadhan berlalu. Mudah-mudahan negeri ini bebas korupsi.