REPUBLIKA.CO.ID, Oleh HM Harry M Zein
Tidak terasa kita sudah memasuki hampir sepekan menjalankan ibadah di bulan suci Ramadhan ini. Sudah kita lalui kondisi menahan rasa lapar dan haus sepanjang hari.
Dalam lebih dari 10 hari menjalankan ibadah puasa ini, ada yang berhasil, hingga ada yang berhasil meningkatkan frekuensi ibadah. Namun tidak sedikit pula yang tergoda oleh rayuan manis kehidupan sehingga lupa akan perintah Allah Swt.
Tanpa kita sadari, sebenarnya selama bulan Ramadhan ini kita telah membangun spirit beribadah kepada sang Khalik. Patut kita akui juga, hampir sepekan ini, nuansa ibadah di dalam jiwa kita sangat tinggi. Nuansa ibadah itu terasa semakin tinggi ketika lingkungan di sekeliling menyajikan ”menu-menu ibadah”.
Namun tanpa kita sadari pula, rasa malas terkadang menghinggap di hati dan jiwa kita. Jangankan menjalankan ibadah sunah, melaksanakan ibadah yang wajib diperintahkan Allah swt terasa berat.
Perkara itu bukan suatu yang baru. Imam Ali ra pernah berkata, ”Kadang hati itu merespon perbuatan baik dan menolak perbuatan baik. Kadang begitu bersemangat untuk melakukan ibadah dan kadang malas.” Jika kondisi demikian benar-benar terjadi pada diri kita, maka kita tidak bedanya dengan orang yang telah memintal benang dengan kuat setelah itu diberaikan kembali.
Sangat disayangkan jika kita mendapatkan kondisi seperti itu. Tentu saja berkah dan rahmat Alla swt akan pergi meninggalkan kita. Agar kita tidak termasuk kaum yang merugi, ada baiknya kita membaca dan menghayati pesan yang disampaikan Imam Ali ra, bahwa ”jika kondisi hati ini sedang merespon yang baik, maka bawalah hati itu melakukan ibadah sunnah sebanyak-banyaknya. Dan sebaliknya apabila hati itu sedang malas dan menolak kebaikan maka lakukanlah ibadah minimal yang wajib.”
Setidaknya terdapat lima tips agar hati kita tetap bersemangat dalam melakukan ibadah. Pertama, hadirkan kesadaran abadi akan adanya syurga. Seorang muslim harus berobsesi terhadap tingkatan syurga, yaitu surga Firdaus.
Dalam suatu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori, dikatakan bahwa ”kalau kita ingin surga, mintalah syurga Firdaus. Permintaan tersebut haruslah diimbangi dengan pengetahuan kualifikasi penduduk surga.”
Kedua, harus pandai menahan amarah (kecerdasan emosi terletak pada marah). Rasulullah saw memberikan cara mengelola amarah, yaitu: membaca ta’awuzd atau jika tetap terasa ingin marah, maka dianjurkan mengambil air wudhu.
Ketiga, mudah memaafkan orang lain. Pernah dikisahkan Hasan Al Bisri yang mempunyai tetangga non-muslim. Sang tetangga memiliki kamar mandi di atas rumahnya dan bocor sehingga air merembes masuk ke dalam rumah Hasan Al Bisri.
Setiap hari beliau selalu menadahi air bocoran dengan ember. Suatu ketika beliau sakit parah dan sang tetangga-pun menjenguknya. Diapun bertanya air dari manakah ini? Hasan Al Bisri pun mencoba mengalihkan pembicaraannya. Tetapi sang tetangga terus bertanya; air dari manakah ini yang Anda tampung? Akhirnya Hasan Al Bisri menjawab, bahwa air itu adalah air rembesan dari kamar mandi Anda.
Berapa lama Anda menampungnya? 18 tahun. Betapa terkejutnya sang tetangga itu. Sang tetangga menjadi takjub akan sifat pemaaf Hasan Al Bisri, kemudian sang tetangga langsung masuk Islam.
Cara keempat yang patut kita lakukan adalah menghadirkan kecemasan abadi akan adanya neraka. Caranya adalah dengan sering-sering membaca dan mendengar ayat-ayat azab dari a-Quran. Sebagai contoh, sayyidina Umar pernah mendengar surah Attur ayat 7 berbunyi, “Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi.”
Mendengar ayat itu beliau langsung menangis dan jatuh pingsan. Ada kisah yang menyebut setelah itu sayyidina Umar dilaporkan mengalami sakit selama 2 bulan. Beliau menganggap bahwa ayat itu untuk dirinya yang dahulu penuh dengan dosa.
Kelima, berinteraksi dengan orang-orang saleh. Tidak dipungkiri bahwa orang saleh adalah magnet kebaikan. Semoga di bulan Ramadhan ini, kita bisa menjaga semangat ibadah untuk 11 bulan pascaRamadhan. Aamiin.